Pekan lalu
saya menamatkan baca (buku) novel karya Akmal N.Basral. Akmal adalah penulis
fiksi, yang saya kira hebat dalam eksplorasi kondisi dan penggambaran suasana.
Seakan-akan saya melihat langsung kondisi alam yang diceritakan Akmal dalam
novel Tadarus Cinta Buya Pujangga (Salamadani Grafindo, 2013).
Novel biografi
yang berlatar belakang budaya Minangkabau ini terasa hidup. Dialog yang
dibangunnya pun mengalir. Meski alur cerita yang datar dan mudah ditebak,
tetapi penggambaran sosok Malik (Hamka kecil) cukup kuat.
Selain itu,
perjalanan tokoh Malik yang sejak kecil hingga dewasa cukup apik dan runtut
digambarkan. Konflik dengan sang ayah, membuat Malik meninggalkannya. Meski
memiliki cita-cita yang berbeda dengan sang ayah, tetapi takdir mengarahkan hidupnya menjadi sosok yang sama seperti
ayahnya: ulama dan aktif dalam sebuah organisasi Islam.
Karier yang
dirintis dengan otodidak oleh Malik menjadi kekuatan dari novel Tadarus Cinta Buya Pujangga.
Semangat untuk tumbuh dan merajut masa depan yang gemilang terasa ditekankan
oleh sang penulis. Dari sang awak kecil
yang hidup terlunta-lunta, tetapi bernasih beruntung, sampai kemudian menjadi
orang ternama berkat tulisan dan pengetahuan agama yang melejitkan sosoknya
menjadi tokoh Islam.
Sayangnya, proses menuju Hamka besar dan ulama ternama pasca bertemu Soekarno luput dari paparan Akmal. Saya menduga dari awal saat baca bahwa tentang proses konflik pemikiran dengan Bung Karno (Ir Soekarno) yang membuat Hamka masuk jeruji besi, akan dirajut pada bagian akhir. Ternyata hal itu tak ada. Berakhir tanpa ada penghubung dengan bagian awal kisah pembuka. Kayaknya, Akmal sengaja supaya pembaca berminat membaca sejarah politik Indonesia.
Sayangnya, proses menuju Hamka besar dan ulama ternama pasca bertemu Soekarno luput dari paparan Akmal. Saya menduga dari awal saat baca bahwa tentang proses konflik pemikiran dengan Bung Karno (Ir Soekarno) yang membuat Hamka masuk jeruji besi, akan dirajut pada bagian akhir. Ternyata hal itu tak ada. Berakhir tanpa ada penghubung dengan bagian awal kisah pembuka. Kayaknya, Akmal sengaja supaya pembaca berminat membaca sejarah politik Indonesia.
Meski terasa
ada yang menggantung, saya kira novel ini terbilang bagus dari bahasa dan
alurnya. Keterlibatan emosi memang kurang. Terasa ada jarak dengan keadaan sang
tokoh dengan dialog-dialog yang dirangkai.
Kemudian aspek
mendebarkan dan sentuhan emosi sedikit tampak saat pertemuan Malik yang sudah
haji dan menjadi penulis pemula dengan sang ayah yang bangga terhadap anaknya
yang berhasil tanpa bantuan ayahnya.
Saya yang
masih awam dalam khazanah sastra, sisi ’seru’ dalam novel ini yang cukup kuat
dan membuat pembaca larut dalam emosi, bukan pada tokoh Malik. Akan tetapi,
pada ayahnya: Karim Amrullah yang
disesatkan orang-orang tidak sepaham dalam agama dan dianggap bertentangan dengan pemahaman umum. Kemudian perlakuan masa silam terhadap sang anaknya yang cukup menegangkan.
disesatkan orang-orang tidak sepaham dalam agama dan dianggap bertentangan dengan pemahaman umum. Kemudian perlakuan masa silam terhadap sang anaknya yang cukup menegangkan.
Berkaitan
dengan konflik pemahaman agama, sang novelis (Akmal) mendedah konflik sang ayah
dengan orang yang tidak sepaham itu melalui forum sehingga terbuka dan menjadi
jelas duduk permasalahannya. Inipula yang bagi saya sebuah pelajaran penting
bahwa menyelesaikan
konflik pemikiran atau pemahaman agama harus melalui sebuah forumdengan menhadirkan pihak-pihak yang terlibat konflik dalam sebuahmahkamah yang diakui keadilannya. Penghakiman sepihak dalam masalahagama atau pemahaman pemikiran, bukannya menjadi solusi masalah kian menyulut masalah. Apalagi hal itu disebarkan kepada orang-orang yang belum paham. Saya kira sisi dialogis dalam memecahkan masalah sangat kuat menjadi pesan dari novel Akmal ini.
konflik pemikiran atau pemahaman agama harus melalui sebuah forumdengan menhadirkan pihak-pihak yang terlibat konflik dalam sebuahmahkamah yang diakui keadilannya. Penghakiman sepihak dalam masalahagama atau pemahaman pemikiran, bukannya menjadi solusi masalah kian menyulut masalah. Apalagi hal itu disebarkan kepada orang-orang yang belum paham. Saya kira sisi dialogis dalam memecahkan masalah sangat kuat menjadi pesan dari novel Akmal ini.
Saya kira
pembaca novel Tadarus Cinta Buya Pujangga sama-sama akan sepakat dengan
simpulan saya setelah beres membaca bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Nenek moyang Hamka adalah ulama. Ayah Hamka juga ulama. Kemudian Hamka menjadi
ulama. Secara tidak sadar ada gen yang berulang dan dipertahankan. Saya yakin
itu bagian lain yang layak diapresiasi oleh pembaca.
Saya yakin itu
karena kerja Akmal yang luar biasa saat proses kreafif penulisan novel. Kerja
yang tidak mudah untuk menggali sosok tokoh Islam Indonesia yang pernah menjadi
buah bibir era munculnya orde baru. Apalagi setelah sukses dengan novel Sang
Pencerah yang dianugerahi sebagai penulis fiksi terbaik, saya kira menjadi
semakin pede (percaya diri) dalam menulis novel-novel tokoh Indonesia lainnya. Selamat
buat Akmal. Semoga tahun depan melahirkan karya baru lagi.[]