Jumat, 01 Agustus 2014

Bisakah Mencapai Khusyuk dalam Shalat?

Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan bahwa ada dua hal yang dapat membantu kita mencapai kekhusyukan dalam shalat, yaitu kuatnya sesuatu yang membuat berkonsentrasi dan lemahnya sesuatu atau hilangnya penghalang yang dapat membuyarkan konsentrasi. Kuatnya sesuatu yang membuat berkonsentrasi adalah dengan cara berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mengerti apa yang diucapkan dan apa yang diperbuatnya dalam shalat, sekaligus berusaha menghayati bacaan, zikir, dan doa.


Selain itu, juga menghadirkan hati bahwa ia sedang bermunajat dengan Allah Swt. bahkan seolah-olah ia melihat-Nya (ihsan). Hal ini karena pada hakikatnya, seseorang yang shalat itu tengah bermunajat dengan Rabb-nya. Ihsan ialah Anda menyembah Allah seolah-olah Anda melihat-Nya. Jika Anda ternyata tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihat Anda. 

Selanjutnya, setiap kali seseorang dapat merasakan betapa nikmatnya shalat, tentu saja ia akan selalu terdorong untuk mengerjakan shalat. Daya tarik seseorang untuk mengerjakan shalat sangat bergantung pada kekuatan imannya.

Banyak faktor yang menyebabkan iman itu semakin kuat dan kokoh. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Disenangkan bagiku urusan duniawimu, yaitu wanita dan harum-haruman, dan dijadikan shalat itu sebagai penyejuk hati.”

Dalam hadits yang lain Rasulullah saw bersabda, “Berilah kami kesenangan dengan melakukan penyegaran dengan melakukan shalat, wahai Bilal.” Beliau tidak berkata, “Senangkan kami darinya (shalat).”

Adapun yang kedua adalah hilangnya penghalang kekhusyukan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara berusaha dengan segenap kemampuan untuk membendung sesuatu yang dapat menyibukkan hati, seperti memikirkan sesuatu yang tidak berguna. 

Sekaligus juga berusaha menghayati faktor-faktor yang menyebabkan hati dapat memahami tujuan shalat. Hal seperti ini bisa dilakukan oleh setiap manusia sesuai dengan kebersihan hatinya karena banyaknya was-was dalam hati. Itu pun sangat bergantung kepada banyaknya syubhat (sesuatu yang tidak jelas halal dan haramnya) dan keinginan-keinginan (duniawi) yang terpendam dalam hati.

Selain itu, juga karena hati sudah terpatri dengan segala sesuatu yang dicintainya yang dapat menyebabkan hati tertuntut untuk menggapainya.*** (Ahmad Sahidin)