Masyarakat Arab terdahulu yang musyrik berhasil diubahnya menjadi
masyarakat yang bertauhid, berakhlak mulia, dan beradab. Sebagian tokoh Quraisy
yang dulunya membenci—entah karena kalah atau memang sadar—bertekuk lutut dan
mengakui kebesaran dan kebenaran risalah Islam yang dibawa putra Abdullah dan
Aminah itu. Mereka berikrar syahadah dan menjalankan beban (taklif) yang
diemban oleh seorang Muslim.
Setelah wafat “penjaga” risalah itu,
mereka—meskipun masih beridentitas Islam—kembali pada tradisi lama, seperti
berlaku curang dalam urusan ekonomi dan menindas yang lemah. Kaum Muslim yang
dekat dengan keluarga Nabi Muhammad saw banyak menjadi korban kekejaman mereka.
Hingga abad Pertengahan Masehi kedudukan mereka langgeng dalam kekuasaan yang
turun temurun diwariskan ke anak dan keturunannya.
Sebut saja penguasa-penguasa Daulah Umayyah dan Daulah Abbasiyah serta
kerajaan-kerajaan yang mengaku beridentitas Islam, sangat jauh dari nilai-nilai
yang diajarkan Rasulullah saw.
Islam hanya menjadi identitas saja, bukan sebagai pedoman yang menuntun
jalan hidup kita. Tingkah laku dan sikap mereka tak mencerminkan akhlak yang
tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Betapa kecewanya—bila
pembawa risalah Ilahi itu masih hidup—melihat umatnya tak lagi mengikuti tata
aturan hidupnya, bahkan bergelimang dalam dosa dan aktivitas madharat. Orang-orang
yang setia dalam keislaman tidak terlihat peranannya karena tertutupi gencarnya
aksi dan identitas mereka. Ini mungkin masalahnya sehingga tujuan dan nilai
penting ibadah shalat yang dijalankan kaum Muslim tidak tampak dalam kesehariannya.
Karena pikiran, mental, dan niatnya sudah tergadaikan dengan hal-hal yang
berbau materi, hasrat berkuasa, kesenangan dunia, dan hasrat seksualitas yang
berlebih. Sehingga yang shalat dan tak shalat, secara kasat mata tak ada
bedanya.
Menurut kabar yang saya terima bahwa ada segelintir anggota dewan yang
sebelumnya dikenal sebagai sosok `alim, nyantri, dan anti-maksiat, saat bersentuhan
dengan berbagai fasilitas dan kemudahan, terjerumus pula dalam kemaksiatan.
Padahal, ia sehari-harinya melakukan shalat berjamaah dan penceramah dibeberapa
majelis taklim. Sungguh ironis bukan!
Shalat yang bagaimanakah yang dapat mencegah perbuatan keji dan munkar
itu? Dalam Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 45, Allah Ta`ala berfirman,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.”
Memang harus saya akui urusan ibadah bila dilihat secara nyata dalam
hidup ini tak ada kaitannya. Saya sendiri terkadang memisahkan urusan dunia dan
ibadah sehingga banyak pelanggaran yang dilakukan. Jika dalam shalat kita bisa
berdiri menghadap kiblat dengan mantap dan bacaan yang mengalir. Namun dalam
urusan menunggu atau antre kadang selalu ingin yang paling duluan.
Jika dalam shalat saya bisa bertahan dalam menyelesaikan bacaan
al-fatihah dan surat lainnya. Tapi di luar shalat, terutama saat mengerjakan
pekerjaan, kadang suka melewati batas deadline dan bahkan pulang sebelum beres.
Disiplin, mungkin jadi alasan. Ya, itu juga pelajaran dari shalat: tepat waktu.
Harus saya akui bahwa itu memang sulit dan butuh dilatih terus-menerus. Ini
yang saya rasakan: shalat saya masih belum berpengaruh dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari.
Bila dilihat dari tafsir teologis, ayat di atas bisa dimaknai bahwa
hakikat shalat adalah menumbuhkan keyakinan terhadap Allah Yang Mahasegalanya
dan mengingatkan tentang adanya hari kebangkitan (al-ma`ad); sehingga
berpengaruh kepada manusia agar tidak melakukan perbuatan yang keji dan
mungkar. Penjelasan ini setidaknya dapat dilihat dari aspek hukum (perintah
Allah): jika shalat ia termasuk beruntung, dan bila tidak ia akan buntung atau
rugi karena bakal kena azab.
Begitu juga dengan gerakan-gerakan shalat. Bisa ditafsirkan bahwa
seseorang yang berdiri dan bertakbir dalam shalat merupakan bentuk pengakuan
bahwa Allah adalah Dzat yang lebih agung, lebih besar, dan lebih tinggi
kedudukannya dari semua makhluk di alam semesta ini. Saat membaca al-fatihah,
diri (manusia) yang rendah di hadapan Allah mengakui secara lisan bahwa Allah
adalah Tuhan yang memberikan kasih dan sayang serta berbagai kenikmatan hidup
di dunia ini pada semua makhluk, termasuk manusia.
Sambil mengucapkan pujian, diri kita memohon curahan kasih dan sayang-Nya;
mengakui kekuasaan-Nya dan mengingat hari yang saling menentukan kedudukan
manusia di akhirat. Melalui pembacaan surat al-fatihah: kita mengakui hanya
Allah yang layak disembah dan dimintai pertolongan, baik dunia maupun di
akhirat nanti. Melalui lantunan surat al-fatihah: makhluk rendah ini berdoa
memohon kepada Allah agar diberi petunjuk-Nya untuk mendapatkan jalan yang
lurus dan berlindung supaya tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
telah dimurkai-Nya serta tidak termasuk mereka yang tersesat.
Selanjutnya, badan kita bergerak untuk merunduk rukuk. Memaksakan diri
untuk mengakui secara jasad bahwa Allah yang pantas disembah dan dimuliakan.
Melalui rukuk kita memuji Allah sebagai Dzat Yang Maha Agung. Dengan rukuk kita
sadar bahwa diri ini rendah.
Pengakuan rendah dihadapan Allah semakin terasa saat sujud; bersungkur
di atas tanah sekaligus mengakui bahwa manusia itu berasal dari saripati tanah,
yang berarti makhluk hina. Kehinaan diri diangkat oleh-Nya dengan memasukkan ruh-Nya
pada jasad sehingga hidup dan disebut manusia. Ruh yang suci dan unsur tanah
yang hina menjadi satu dalam satu wadah: manusia. Keduanya saling mendominasi
dan menggerakkan kita. Unsur tanah selalu mendorong kita pada perilaku yang
hina, buruk, dan cenderung kepada materi.
Sebaliknya, ruh suci menyadarkan
bahwa manusia adalah makhluk Allah yang harus patuh dan taat serta memikul amanah
dari-Nya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia hanyalah makhluk biasa
yang tidak abadi dan pasti bakal mati—saat tiba masanya ruh suci yang berada
dalam diri manusia diambil kembali oleh pemilik-Nya. Dari pengakuan kita bahwa
Allah Yang Mahatertinggi kedudukannya inilah gerakan sujud menjadi sarana
penghapus segala ego dan kesombongan manusia.
Dari sikap rendah itu kita bangkit. Duduk bersimpuh dan bersaksi bahwa
Allah adalah esa (tunggal) dan Muhammad merupakan utusan-Nya; yang membawa
petunjuk hidup bagi manusia, yang kebenarannya terjamin hingga akhirat. Kita
pun membaca shalawat, salam, dan doa untuk manusia agung, nabi terakhir
Muhammad saw. Juga memohon kepada-Nya supaya dimasukkan ke dalam golongan
hamba-hamba-Nya yang saleh dan mendoakan saudara se-agama; menyebarkan kebaikan
dan mewujudkan kedamaian di bumi-Nya. Di sinilah peran manusia sebagai khalifah
dimulai: mengisi dan menjalankan kehidupan. Di sinilah pertentangan dalam diri
dimulai: menjadi manusia sempurna atau menjadi makhluk hina.
Dari pemaknaan dan penghayatan shalat inilah seorang Muslim akan
memiliki daya spiritualitas atau gelombang besar yang mampu melebur setiap dosa
dan keberadaannya menjadi solusi di tengah masyarakat. Bukan menjadi sampah
masyarakat. Namun sayang, umat Islam Indonesia sendiri tampaknya tidak terlalu
memperhatikan aspek ini. Umat Islam, termasuk saya, masih lebih senang berkutat
dengan masalah aspek lahiriah dan gerakan shalat. Saya sendiri serimg merasa
risih bila ada seseorang yang shalat di samping saya menggerakkan jari
telunjuknya saat tasyahud, risih bila bacaan Al-Quran yang dibaca imam itu tak
sesuai makhraj dan tajwid, dan merasa terganggu bila ada yang berdzikir dengan
suara keras.
Memang saya akui, perilaku dan sikap lahiriah shalat saya belum menjadi
kekuatan yang mendorong hidup menjadi lebih baik. Sehingga wajar bila daya
spiritualitas shalat tidak mengubah perilaku dan sikap keberagamaan kita di
masyarakat. Kadang dengan pemahaman agama yang seadanya, berani menganggap
salah terhadap yang berbeda tata cara dan bacaan shalat dengan kita. Sikap
fanatis dan merasa benar sendiri dalam urusan syariah atau ibadah merupakan
bentuk ketidakdewasaan sekaligus menunjukkan diri kita masih dangkal dalam
beragama.
Bagaimana mungkin bisa meraih keridhaan Allah bila dalam menjalankan aturan-Nya
pun tak ridha dengan ketentuan Allah tentang adanya perbedaan? Pemahaman agama
yang bersifat ‘asal terima’ membuat akal sehat dan nurani tak berfungsi. Akal
yang seharusnya mampu membedakan dan menimbang, malah menjadi pembenar
sekaligus memihak; dan hati yang seharusnya menelisik “kebenaran” dengan daya
rasa (ruhani), malah tenggelam dalam gumam yang tak berwujud.
Benarlah yang diungkapkan Abdul Karim Soroush, umat Islam masih
menyakralkan “pemahaman agama” atau “Islam sebagai identitas” ketimbang agama
atau kebenaran Ilahi itu sendiri. Umat Islam masih menganggap benar tafsir
gurunya, ketimbang suara nurani dan kebenaran yang berdasarkan pengetahuan
Ilahi. Jelas, ini sebuah masalah yang seharusnya segera diupayakan agar kita tidak
terlalu “asyik” tenggelam dalam dunia lahiriah dan pertentangan yang
berkepanjangan. Saya kira fakta sejarah tentang pembunuhan dan caci-maki
terhadap sesama kaum Muslimin—karena berbeda mazhab dan pemahama—tak perlu
terulang kembali. Bukankah tujuan shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar?
Bukankah shalat itu diawali takbir dan diakhiri salam?
Mari bersama-sama mengagungkan Allah dan membuktikan diri kita selaku
Muslim dengan selalu menebarkan kedamaian agar selamat dunia dan akhirat.
Terakhir, ini sebagai bahan renungan buat kita, Imam Ja`far Ash-Shadiq,
guru para imam mazhab fiqih Sunni menyampaikan, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya
telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat
yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan
mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal tersebut, sekadar itu pula shalat yang
dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya.” *** (ahmad sahidin, pembaca buku]