MEMBACA buku tentang pemikiran ekonomi
Islam membuat saya menjadi tahu bahwa sejarah Islam kaya dengan khazanah
ilmu-ilmu. Buku yang saya baca tersebut ditulis oleh Dr. Deliarnov Anwar, yang
diberi judul “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Era Klasik hingga Modern
dan Perbandingannya dengan Ekonomi Konvensional”.
Buku yang ditulis oleh dosen
program studi Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Pekanbaru dan lulusan doktor ekonomi di Amerika Serikat, ini akan
diterbitkan Penerbit Salamadani Pustaka Semesta pada akhir April 2009. Sayangnya tak jadi terbit dan penulisnya pun kini Almarhum.
Setelah dilihat-lihat, buku itu isinya
berupa ulasan tentang pemikiran ekonomi Islam dan ada sedikit tentang ekonomi
konvensional. Juga membahas tentang aturan-aturan pokok ekonomi yang
berdasarkan pada sumber Islam (Al-Quran dan hadits) dan memberikan gambaran
tentang karakteristik ekonomi Islam yang membedakannya dengan ekonomi
konvensional.
Selain itu, diulas juga hukum dan
prinsip ekonomi Islam menurut para ulama (Klasik dan Modern) seperti Imam
Ja´far Ash-Shadiq, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi´i, Ahmad bin
Hanbal Abu Yusuf, Asy-Syaibani, Abu Ubayd, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu
Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Zaid bin Zainal Abidin, Yahya bin Umar,
Ibnu Miskawaih, Ibnu Hazm, Al-Juwaini, As-Sarakhsi, Dimashqi, Fakhruddin
Ar-Razi, Ibnu Qudamah, Najmuddin Ar-Razi, Nasiruddin Ath-Thusi, Shah Waliullah
Dihlawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna,
Ziaul Haque, Sayyid Abul A´la Mawdudi, Sayyid Qutb, Muhammad Baqir Ash-Shadr,
Fazlur Rahman, Ismail Razi Al-Faruqi, Khursid Ahmad, Muhammad Anas Zarqa,
Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qaradhawi, dan Umer Chapra.
Dalam buku ini, Deliarnov Anwar membagi
sejarah pemikiran ekonomi Islam pada empat fase. Fase pertama, pemikiran-pemikiran
ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai
sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Fase kedua adalah
“cemerlang”, berlangsung dari abad 11- 15 Masehi. Fase ketiga adalah stagnasi,
ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual, sejak 1446
hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932.
Fase keempat adalah modern, ditandai
dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran selama lima abad sejak
pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20. Pada masa modern ini
muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional. Jika pembahasan ekonomi
sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi, maka pada masa
modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau cendekiawan Muslim, yang
tidak sedikit mendapat pendidikan Barat.
Sebuah jejak perjalanan pemikiran
ekonomi Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita banggakan dan hadirkan dengan
kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga relevan dengan zaman sekarang.
Memang harus diakui bahwa pasca-tumbangnya Komunisme, Sosialisme, Liberalisme
dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan krisis global di negara-negara
Barat dan yang berada di bawah naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom
Barat mencari “formula” yang kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui
sistem dan pemikiran yang sebelumnya.
Mereka melihat pada Islam, khususnya pada
khazanah pemikiran ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim.
Tidak sedikit karya khazanah ekonomi
Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di negara-negara Barat sekarang ini.
Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah, ekonom Barat mengambil sistem dan
konsepnya tanpa mengambil sisi spiritualitasnya. Mungkin, bisa diibaratkan
bentuk tanpa isi. Meski begitu geliatnya dalam mewujudkan sistem yang
berdasarkan syari`ah sangat tampak dari beberapa perusahaan yang ada di Eropa,
khususnya di Inggris sudah muncul perguruan tinggi yang mengajarkan Islamic
finance dan di Jepang untuk kawasan Asia. Mengapa mesti ekonomi Islam yang
menjadi solusi dalam membangun sistem perekonomian yang utuh dan paripurna?
Menurut Deliarnov, hal itu karena
ekonomi Islam memiliki ciri atau karakteristik khusus, seperti berlandaskan
pada tauhid (Ilahiyah), mengutamakan keadilan, humanis dan peduli kaum dhuafa,
melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya, dan mengutamakan
akhlak dalam bermua`malah, seperti kejujuran, amanah, adil, ihsan,
silaturrahim, dan kasih sayang.
Bagi saya, termasuk buku “Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam: dari Era Klasik hingga Modern dan Perbandingannya dengan Ekonomi
Konvensional” dan persoalan ekonomi Islam, merupakan sebuah bentuk terobosan
(untuk tidak mengatakan latah) dan juga upaya untuk memosisikan diri di atas
pentas dunia. Memang harus diakui bahwa peradaban dunia sekarang, khazanah dan
wacananya masih dikuasai Barat.
Lagi-lagi yang tidak saya temukan,
termasuk dalam istilah disiplin yang menggunakan label Islam dibelakangnya
adalah esensi dari semua itu. Paling hanya ganti istilah dengan bahasa berbau
Arab. Seperti persoalan riba, ternyata dilarang juga dalam Agama Yahudi. Hanya
mereka, dalam interaksi dengan pihak luar agama dan kaumnya, sangat
membolehkannya karena Yahudi memang licik, termasuk dalam urusan politik.
Saya juga melihat ada kecenderungan pada
para pemikir Islam sekarang, termasuk yang disebutkan di atas, bahwa sekarang
ini eranya mencibir dan menuding bahwa ekonom Barat (baik itu aliran Klasik,
Neo-Klasik, Kapitalisme, atau Neo-Liberalisme yang kini sedang sekarat): konsep
dan teorinya adalah hasil "curian" dari khazanah Islam.
Mungkin kita ingat bagaimana masa Perang
Salib, atau masa kekuasaan Islam di Andalusia dan negeri Barat lainnya, banyak
khazanah Islam yang diterjemahkan dan diklaim sebagai original
"pemikiran" Barat hingga kini. Tampaknya sebuah dendam sejarah sedang
bergulir dalam peradaban manusia. Semoga saja tidak terjadi. *** (Ahmad Sahidin)