Minggu, 03 Agustus 2014

Dendam Sejarah yang Bergulir dalam Peradaban Manusia

MEMBACA buku tentang pemikiran ekonomi Islam membuat saya menjadi tahu bahwa sejarah Islam kaya dengan khazanah ilmu-ilmu. Buku yang saya baca tersebut ditulis oleh Dr. Deliarnov Anwar, yang diberi judul “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Era Klasik hingga Modern dan Perbandingannya dengan Ekonomi Konvensional”. 


Buku yang ditulis oleh dosen program studi Ekonomi Islam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Pekanbaru dan lulusan doktor ekonomi di Amerika Serikat, ini akan diterbitkan Penerbit Salamadani Pustaka Semesta pada akhir April 2009. Sayangnya tak jadi terbit dan penulisnya pun kini Almarhum.

Setelah dilihat-lihat, buku itu isinya berupa ulasan tentang pemikiran ekonomi Islam dan ada sedikit tentang ekonomi konvensional. Juga membahas tentang aturan-aturan pokok ekonomi yang berdasarkan pada sumber Islam (Al-Quran dan hadits) dan memberikan gambaran tentang karakteristik ekonomi Islam yang membedakannya dengan ekonomi konvensional.


Selain itu, diulas juga hukum dan prinsip ekonomi Islam menurut para ulama (Klasik dan Modern) seperti Imam Ja´far Ash-Shadiq, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam Asy-Syafi´i, Ahmad bin Hanbal Abu Yusuf, Asy-Syaibani, Abu Ubayd, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Zaid bin Zainal Abidin, Yahya bin Umar, Ibnu Miskawaih, Ibnu Hazm, Al-Juwaini, As-Sarakhsi, Dimashqi, Fakhruddin Ar-Razi, Ibnu Qudamah, Najmuddin Ar-Razi, Nasiruddin Ath-Thusi, Shah Waliullah Dihlawi, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Ziaul Haque, Sayyid Abul A´la Mawdudi, Sayyid Qutb, Muhammad Baqir Ash-Shadr, Fazlur Rahman, Ismail Razi Al-Faruqi, Khursid Ahmad, Muhammad Anas Zarqa, Nejatullah Siddiqi, Yusuf Qaradhawi, dan Umer Chapra.

Dalam buku ini, Deliarnov Anwar membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam pada empat fase. Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Fase kedua adalah “cemerlang”, berlangsung dari abad 11- 15 Masehi. Fase ketiga adalah stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual, sejak 1446 hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932.

Fase keempat adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran selama lima abad sejak pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20. Pada masa modern ini muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional. Jika pembahasan ekonomi sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi, maka pada masa modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau cendekiawan Muslim, yang tidak sedikit mendapat pendidikan Barat.

Sebuah jejak perjalanan pemikiran ekonomi Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita banggakan dan hadirkan dengan kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga relevan dengan zaman sekarang. Memang harus diakui bahwa pasca-tumbangnya Komunisme, Sosialisme, Liberalisme dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan krisis global di negara-negara Barat dan yang berada di bawah naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom Barat mencari “formula” yang kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui sistem dan pemikiran yang sebelumnya. 

Mereka melihat pada Islam, khususnya pada khazanah pemikiran ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim.

Tidak sedikit karya khazanah ekonomi Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di negara-negara Barat sekarang ini. Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah, ekonom Barat mengambil sistem dan konsepnya tanpa mengambil sisi spiritualitasnya. Mungkin, bisa diibaratkan bentuk tanpa isi. Meski begitu geliatnya dalam mewujudkan sistem yang berdasarkan syari`ah sangat tampak dari beberapa perusahaan yang ada di Eropa, khususnya di Inggris sudah muncul perguruan tinggi yang mengajarkan Islamic finance dan di Jepang untuk kawasan Asia. Mengapa mesti ekonomi Islam yang menjadi solusi dalam membangun sistem perekonomian yang utuh dan paripurna?

Menurut Deliarnov, hal itu karena ekonomi Islam memiliki ciri atau karakteristik khusus, seperti berlandaskan pada tauhid (Ilahiyah), mengutamakan keadilan, humanis dan peduli kaum dhuafa, melepaskan manusia dari beban dan rantai yang membelenggunya, dan mengutamakan akhlak dalam bermua`malah, seperti kejujuran, amanah, adil, ihsan, silaturrahim, dan kasih sayang.

Bagi saya, termasuk buku “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam: dari Era Klasik hingga Modern dan Perbandingannya dengan Ekonomi Konvensional” dan persoalan ekonomi Islam, merupakan sebuah bentuk terobosan (untuk tidak mengatakan latah) dan juga upaya untuk memosisikan diri di atas pentas dunia. Memang harus diakui bahwa peradaban dunia sekarang, khazanah dan wacananya masih dikuasai Barat.

Lagi-lagi yang tidak saya temukan, termasuk dalam istilah disiplin yang menggunakan label Islam dibelakangnya adalah esensi dari semua itu. Paling hanya ganti istilah dengan bahasa berbau Arab. Seperti persoalan riba, ternyata dilarang juga dalam Agama Yahudi. Hanya mereka, dalam interaksi dengan pihak luar agama dan kaumnya, sangat membolehkannya karena Yahudi memang licik, termasuk dalam urusan politik.

Saya juga melihat ada kecenderungan pada para pemikir Islam sekarang, termasuk yang disebutkan di atas, bahwa sekarang ini eranya mencibir dan menuding bahwa ekonom Barat (baik itu aliran Klasik, Neo-Klasik, Kapitalisme, atau Neo-Liberalisme yang kini sedang sekarat): konsep dan teorinya adalah hasil "curian" dari khazanah Islam.

Mungkin kita ingat bagaimana masa Perang Salib, atau masa kekuasaan Islam di Andalusia dan negeri Barat lainnya, banyak khazanah Islam yang diterjemahkan dan diklaim sebagai original "pemikiran" Barat hingga kini. Tampaknya sebuah dendam sejarah sedang bergulir dalam peradaban manusia. Semoga saja tidak terjadi. *** (Ahmad Sahidin)