Rabu, 23 Juni 2021

Agama dan Interpretasi

Dalam sejarah disebutkan usia 40 tahun Baginda Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Sebagai utusan Allah yang pamungkas. Tidak ada Nabi lainnya setelah Muhammad bin Abdullah. Karena tidak ada Nabi lagi sehingga risalah Islam dijaga dan dirawat oleh keluarga, sahabat, dan kini umatnya. Mereka berpegang kepada yang ditetapkan Sang Nabi untuk merujuk kitab suci dan riwayat-riwayat (data historis) dari Keluarga Nabi dan Sahabatnya.

Tentu dalam perjalanan sejarah bahwa riwayat ini tidak begitu saja diterima oleh umat. Sebab informasi lisan sejak masa Nabi sampai generasi pascasahabat masih kuat. Setelahnya banyak yang sudah gugur penyebar informasinya sehingga mulai ada upaya untuk mendokumentasikan, menyusun ulang, bahkan mensistematiskan menjadi kitab hadis yang siap baca. Semua itu tidak mudah dalam prosesnya.

Mulai dari kerentanan terpotongnya informasi, ketidak utuhan, dan mungkin distorsi dari setiap kata-kata maupun rangkaiannya. Karena itu, sumber keagamaan Islam itu untuk konteks teladan dan hukum—bagi segelintir intelektual Muslim—masih dalam ranah penafsiran sehingga masih bisa diperdebatkan. Saya kira dalam agama lain pun ada kemungkinan sama.

Interpretasi agama menjadi kunci dari dinamika sejarah agama. Dalam hal ini umat beragama mengalami dinamika, khususnya dari sisi pemahaman dari masa ke masa. Dari guru ke guru dan penerimaan dari guru yang diterima dan dipahami murid dan jamaah tentu akan beda. Ini juga menjadi peluang berkembangnya interpretasi dan praktek beragama. Kalau merujuk pada setiap agama bahwa yang menjadi inti dari beragama itu manusia menjadi orang baik, secara personal maupun komunal kemudian berkontribusi bagi negeri (lokalitas tempat ia berada).