Saya ingin coba menghubungkan Cultural Studies dengan pembacaan saya atas buku Studi
Budaya Dasar karya MAW. Brouwer, yang diterbitkan Penerbit Alumni, tahun
1984. Buku ini telah menggoda saya untuk mengetahui bahwa inti budaya adalah gerak.
Brouwer menyatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan yang
mentas di panggung sejarah adalah ciptaan para ilmuwan maupun para ahli budaya,
yang disesuaikan dengan kerangka teroritis yang dimunculkannya. Misalnya Arnold
Toynbee dengan teori challange and response, menafsirkan perkembangan
kebudayaan sebagai produk kalangan "minoritas-kreatif", yang berusaha
untuk keluar dari keterdesakkan dan bergerak ke depan. Sehingga Toynbee
berkesimpulan bahwa dengan banyak tantangan, ia atau suatu bangsa akan maju
untuk melangkah ke arah selanjutnya.
Sementara bagi Hegel bahwa sejarah dan kebudayaan akan mencapai klimaksnya pada suatu momen absolut. Pandangan ini bertitik-tolak pada gagasan, atau ide-ide yang mewujud dalam ruang dan waktu. Realisasinya adalah manusia memperoleh kemerdekaan atau kebebasan yang bergerak ke arah perubahan budaya yang memuncak.
Sementara bagi Hegel bahwa sejarah dan kebudayaan akan mencapai klimaksnya pada suatu momen absolut. Pandangan ini bertitik-tolak pada gagasan, atau ide-ide yang mewujud dalam ruang dan waktu. Realisasinya adalah manusia memperoleh kemerdekaan atau kebebasan yang bergerak ke arah perubahan budaya yang memuncak.
Menurut Hegel, manusia adalah alat untuk
memenuhi tujuan dari proses kesadaran yang menyadari asal-usulnya, mengatasi
rintangan dan hambatan serta merefleksikannya untuk menjadi kesadaran yang
lebih tinggi. Wujud praktisnya adalah bangsa bertanding dengan bangsa lain,
kebudayaan satu melawan kebudayaan lain (tesis-antitesis) sebagai proses menuju
sintesis.
Dialektika historis tersebut, yang tampaknya menjadi dasar dari teori clash of
civilization yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama yang
mengakhiri pertarungan (dialektika historis) dengan menggulirkan teori the end
of history, yang menganggap Demokrasi-Liberal dan Kapitalisme Global sebagai
pemenang sejarah.
Menurut Fukuyama bahwa setelah abad enam belas dan tujuh belas masehi proses penciptaan ide dalam sejarah telah berakhir. Selanjutnya tidak akan ada ide-ide baru, tak ada lagi peristiwa-peristiwa dan kemajuan-kemajuan besar lain di dunia ini yang patut dicatat dalam sejarah. Sebab dalam paham negara bahwa Demokrasi Liberal akan dijadikan panutan oleh negara-negara di dunia ini; dan konflik yang terjadi antara individu dan sosial akan berakhir karena kebebasan (bagi) setiap warga telah dijamin oleh negara dengan Demokrasi (dan Hak-hak Asasi Manusia).
Menurut Fukuyama bahwa setelah abad enam belas dan tujuh belas masehi proses penciptaan ide dalam sejarah telah berakhir. Selanjutnya tidak akan ada ide-ide baru, tak ada lagi peristiwa-peristiwa dan kemajuan-kemajuan besar lain di dunia ini yang patut dicatat dalam sejarah. Sebab dalam paham negara bahwa Demokrasi Liberal akan dijadikan panutan oleh negara-negara di dunia ini; dan konflik yang terjadi antara individu dan sosial akan berakhir karena kebebasan (bagi) setiap warga telah dijamin oleh negara dengan Demokrasi (dan Hak-hak Asasi Manusia).
Itu sebabnya nanti tidak ada lagi perjuangan untuk mendapatkan pengakuan identitas, altruisme,
perjuangan ideology dan semangat
patriotisme; karena semuanya akan tergantung dengan perhitungan dan
pertimbangan ekonomi dan rasa-pemuasan konsumen yang bercita rasa tinggi serta
masalah-masalah teknis yang tak habis-habisnya.
Maka dengan itu pada periode "akhir sejarah"
tidak akan ada lagi seni dan filsafat (baru) dan yang ada hanya pemeliharaan
"meseum-meseum " ilmu pengetahuan manusia yang berkelanjutan. Maka hal ini bisa dimaknai
sebagai masa yang diprediksikan bahwa pikiran–pikiran manusia akan terperangkap
dalam satu paket besar.
Apalagi ketika
setiap manusia atau masyarakat telah mensakralkannya; maka tidak akan berdaya
untuk keluar darinya karena yang ada hanya peristiwa-peristiwa yang para
pelakunya mengatasnamakan penghargaan
terhadap demokrasi. Bukankah gaung "narasi-besar" seperti sosialisme-komunisme
telah dijadikan contoh tentang gagalnya sejarah manusia dan tatanan dunia yang
dibangunnya. Maka dari itu Fukuyama menawarkan Demokrasi Liberal dan
Kapitalisme Global sebagai akhir dari sebuah "sejarah"—dengan istilah
menamatkannya. Lalu apa yang ada di akhir?
Inilah yang dipertanyakan tokoh posmoderisme yang punya nama Jean Baudrillard. Ia dalam konteks ini berpandangan bahwa yang
disebut dengan "akhir" adalah terdapatnya kenyataaan virtual yang
terprogram di mana semua fungsi secara bertahap menjadi tidak bergerak karena
semangat menuju telah berakhir. Maka semua manusia yang menjalani waktu dan
sejarah hakikatnya sedang menjalani situasi pingsan masa silam. Inilah yang
menyebabkan berbagai krisis tanpa akhir karena bukan masa depan yang disambut, tetapi
sebuah kemustahilan untuk mengakhiri
semuanya di saat akhir.
Dengan kenangan masa silamlah segalanya
dapat dilihat; dan hal-hal lain yang tidak mungkin bisa dilihat
sebelumnya akan tampak jelas sebab tidak ada yang dapat diramalkannya lagi.
Begitu juga dengan filsuf Hannah Arendt dan Peter L. Berger
tidak ketinggalan berkeoar dengan mengatakan bahwa, yang paling mendasar
dalam kebudayaan dan perubahannya adalah dikarenakan proses "hidup"
manusia yang berada di dalam ruang dan waktu.
Perlu dikutip
Peter Berger, yang menganggap proses
hidup merupakan sebuah "keterpaksaan" untuk membuka rahasia agar
berada dalam kosmos (teratur). Kemudian untuk berada dalam kosmos manusia harus
mengintegrasikan secara total dengan "bahasa" yang menyatukannya
dalam kebudayaan dan sejarah. Kemudian akan muncul tafsir-tafsir
kebudayaan, atau "penciptaan-realitas" di atas kebudayaan yang
sesungguhnya,
yang bisa disebut sebagai
postcultural.
Sedikit melirik
Rolland Barthes, yang menyebut
kebudayaan sebagai "bahasa", "teks" atau "tanda"
yang berbicara sendiri. Sebuah kebudayaan terlahir dari "bahasa" yang
dihubung-hubungkan pada suatu tempat atau posisi, yang bukan oleh budaya itu
sendiri, tetapi oleh para pembaca kebudayaan. Karena dengan adanya pembaca
inilah maksud-tujuan "bahasa-kebudayaan" berada di tangannya, yang
dengan itu Barthes berteriak, "bahwa kelahiran pembaca harus diimbangi
oleh kematian sang pengarang".
Namun, Jean Paul Sartre menyatakan sepanjang pembaca itu
merasakan emosi yang meledak-ledak, hasrat yang mengebu-gebu dan getaran (yang
ada dalam kebudayaan) sehingga tergerak untuk menangkap dan mengungkap
"kearifan" di dalamnya, maka "pengarang" atau pencipta
kebudayaan masih hidup.
Michel Foucault tidak begitu saja menerima pandangan
mereka. Menurutnya, persoalan "bahasa-kebudayaan" tidak bisa
serampangan disebut "otonom" dari wewenang dan otoritas
pemiliknya—yang diungkapkan Barthess; ataupun berada dalam keadaan
"hidup" di zamannya—yang dikatakan Sartre.
Akan tetapi, harus dilihat dari aspek
yang memproduksi atau kekuatan yang mendasar dari hadirnya kebudayaan tersebut.
Artinya, kita harus mempertanyakan kembali kehadirannya dalam rangka apa dan
hal apakah yang menjadi dasar dari kebudayaan itu sendiri. Sebab dengan hal-hal
yang mendasar itulah kita akan menangkap realitas yang ada di dalam
"bahasa-kebudayaan" tersebut.
Persoalan inilah yang semestinya disikapi agar tidak
terjebak pada masalah yang perlu dipecahkan dan dicarikan alternatif lain dalam rangka mengungkap
"hal-hal" yang berkaitan dengan kebudayaan—yang nantinya
mudah-mudahan tidak digiring dan dimanfaatkan segelintir manusia punya kehendak
tertentu. *** (Ahmad Sahidin)