Selasa, 22 Juni 2021

Sedikit tentang Cultural Studies

Saya ingin coba menghubungkan Cultural Studies dengan pembacaan saya atas buku Studi Budaya Dasar karya MAW. Brouwer, yang diterbitkan Penerbit Alumni, tahun 1984. Buku ini telah menggoda saya untuk mengetahui bahwa inti budaya adalah gerak.

Brouwer menyatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan yang mentas di panggung sejarah adalah ciptaan para ilmuwan maupun para ahli budaya, yang disesuaikan dengan kerangka teroritis yang dimunculkannya. Misalnya Arnold Toynbee dengan teori challange and response, menafsirkan perkembangan kebudayaan sebagai produk kalangan "minoritas-kreatif", yang berusaha untuk keluar dari keterdesakkan dan bergerak ke depan. Sehingga Toynbee berkesimpulan bahwa dengan banyak tantangan, ia atau suatu bangsa akan maju untuk melangkah ke arah selanjutnya.

Sementara bagi Hegel bahwa sejarah dan kebudayaan akan mencapai klimaksnya pada suatu momen absolut. Pandangan ini bertitik-tolak pada gagasan, atau ide-ide yang mewujud dalam ruang dan waktu. Realisasinya adalah manusia memperoleh kemerdekaan atau kebebasan yang bergerak ke arah perubahan budaya yang memuncak. 

Menurut Hegel, manusia adalah alat untuk memenuhi tujuan dari proses kesadaran yang menyadari asal-usulnya, mengatasi rintangan dan hambatan serta merefleksikannya untuk menjadi kesadaran yang lebih tinggi. Wujud praktisnya adalah bangsa bertanding dengan bangsa lain, kebudayaan satu melawan kebudayaan lain (tesis-antitesis) sebagai proses menuju sintesis.

Dialektika historis tersebut, yang tampaknya menjadi dasar dari teori clash of civilization yang dikemukakan Samuel P. Huntington dan Francis Fukuyama yang mengakhiri pertarungan (dialektika historis) dengan menggulirkan teori the end of history, yang menganggap Demokrasi-Liberal dan Kapitalisme Global sebagai pemenang sejarah. 

Menurut Fukuyama bahwa setelah  abad enam belas dan tujuh belas masehi proses penciptaan ide dalam sejarah telah berakhir. Selanjutnya tidak akan ada ide-ide baru, tak ada lagi peristiwa-peristiwa dan kemajuan-kemajuan besar lain di dunia ini yang  patut  dicatat dalam sejarah. Sebab dalam paham negara bahwa Demokrasi Liberal akan  dijadikan panutan oleh negara-negara di dunia ini; dan konflik yang terjadi  antara individu dan sosial akan berakhir karena kebebasan (bagi) setiap warga  telah dijamin oleh negara dengan Demokrasi (dan Hak-hak Asasi Manusia).

Itu sebabnya nanti tidak ada lagi perjuangan untuk  mendapatkan pengakuan identitas, altruisme, perjuangan ideology dan semangat  patriotisme; karena semuanya akan tergantung dengan perhitungan dan pertimbangan ekonomi dan rasa-pemuasan konsumen yang bercita rasa tinggi serta masalah-masalah teknis yang tak habis-habisnya.

Maka dengan itu pada periode "akhir sejarah" tidak akan ada lagi seni dan filsafat (baru) dan yang ada hanya pemeliharaan "meseum-meseum " ilmu pengetahuan manusia yang  berkelanjutan. Maka hal ini bisa dimaknai sebagai masa yang diprediksikan bahwa pikiran–pikiran manusia akan terperangkap dalam satu paket besar.

Apalagi  ketika setiap manusia atau masyarakat telah mensakralkannya; maka tidak akan berdaya untuk keluar darinya karena yang ada hanya peristiwa-peristiwa yang para pelakunya  mengatasnamakan penghargaan terhadap demokrasi. Bukankah gaung "narasi-besar" seperti sosialisme-komunisme telah dijadikan contoh tentang gagalnya sejarah manusia dan tatanan dunia yang dibangunnya. Maka dari itu Fukuyama menawarkan Demokrasi Liberal dan Kapitalisme Global sebagai akhir dari sebuah "sejarah"—dengan istilah menamatkannya. Lalu apa yang ada di akhir?

Inilah yang dipertanyakan tokoh posmoderisme yang  punya nama Jean Baudrillard.  Ia dalam konteks ini berpandangan bahwa yang disebut dengan "akhir" adalah terdapatnya kenyataaan virtual yang terprogram di mana semua fungsi secara bertahap menjadi tidak bergerak karena semangat menuju telah berakhir. Maka semua manusia yang menjalani waktu dan sejarah hakikatnya sedang menjalani situasi pingsan masa silam. Inilah yang menyebabkan berbagai krisis tanpa akhir karena bukan masa depan yang disambut, tetapi sebuah kemustahilan untuk  mengakhiri semuanya di saat akhir.

Dengan kenangan masa silamlah segalanya  dapat dilihat; dan hal-hal lain yang tidak mungkin bisa dilihat sebelumnya akan tampak jelas sebab tidak ada yang dapat diramalkannya lagi. Begitu juga dengan filsuf Hannah Arendt dan Peter  L. Berger  tidak ketinggalan berkeoar dengan mengatakan bahwa, yang paling mendasar dalam kebudayaan dan perubahannya adalah dikarenakan proses "hidup" manusia yang berada di dalam ruang dan waktu.

Perlu dikutip Peter Berger, yang menganggap proses hidup merupakan sebuah "keterpaksaan" untuk membuka rahasia agar berada dalam kosmos (teratur). Kemudian untuk berada dalam kosmos manusia harus mengintegrasikan secara total dengan "bahasa" yang menyatukannya dalam kebudayaan dan sejarah. Kemudian akan muncul tafsir-tafsir kebudayaan, atau "penciptaan-realitas" di atas kebudayaan yang sesungguhnya, yang bisa disebut sebagai postcultural.

Sedikit melirik Rolland Barthes, yang menyebut kebudayaan sebagai "bahasa", "teks" atau "tanda" yang berbicara sendiri. Sebuah kebudayaan terlahir dari "bahasa" yang dihubung-hubungkan pada suatu tempat atau posisi, yang bukan oleh budaya itu sendiri, tetapi oleh para pembaca kebudayaan. Karena dengan adanya pembaca inilah maksud-tujuan "bahasa-kebudayaan" berada di tangannya, yang dengan itu Barthes berteriak, "bahwa kelahiran pembaca harus diimbangi oleh kematian sang pengarang".

Namun, Jean Paul Sartre menyatakan sepanjang pembaca itu merasakan emosi yang meledak-ledak, hasrat yang mengebu-gebu dan getaran (yang ada dalam kebudayaan) sehingga tergerak untuk menangkap dan mengungkap "kearifan" di dalamnya, maka "pengarang" atau pencipta kebudayaan masih hidup.

Michel Foucault tidak begitu saja menerima pandangan mereka. Menurutnya, persoalan "bahasa-kebudayaan" tidak bisa serampangan disebut "otonom" dari wewenang dan otoritas pemiliknya—yang diungkapkan Barthess; ataupun berada dalam keadaan "hidup" di zamannya—yang dikatakan Sartre.

Akan tetapi, harus dilihat dari aspek yang memproduksi atau kekuatan yang mendasar dari hadirnya kebudayaan tersebut. Artinya, kita harus mempertanyakan kembali kehadirannya dalam rangka apa dan hal apakah yang menjadi dasar dari kebudayaan itu sendiri. Sebab dengan hal-hal yang mendasar itulah kita akan menangkap realitas yang ada di dalam "bahasa-kebudayaan" tersebut.

Persoalan inilah yang semestinya disikapi agar tidak terjebak pada masalah yang perlu dipecahkan dan dicarikan alternatif  lain dalam rangka mengungkap "hal-hal" yang berkaitan dengan kebudayaan—yang nantinya mudah-mudahan tidak digiring dan dimanfaatkan segelintir manusia punya kehendak tertentu. *** (Ahmad Sahidin)