Mendengar itu saya terenyuh dan iri atas keberaniannya memohon kepada
Allah. Saya belum melakukan seperti bapak itu. Bahkan sejak itu saya bertanya-tanya: kenapa manusia butuh keluh dan
kesah? Benarkah kebahagiaan dan kenikmatan adalah yang paling utama bagi
manusia? Atau mengapa manusia membutuhkan sandaran hidup kepada Tuhan?
Berkaitan dengan ini, Jean Paul Sartre (1905-1980)—seorang filsuf asal
Perancis—berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada yang disebut Tuhan. Yang ada
adalah ketidakmampuan dan rasa takut atas keputusan yang menyertai ketika
seseorang menentukan pilihannya. Sebab banyak kemungkinan pilihan atau
harapan-harapannya berada di luar kendali dan kejadian yang tidak
diinginkannya. Maka biar tidak stres atas realitas yang tidak sesuai dengan
harapannya itu, kata Sartre, orang-orang kemudian bersandar kepada Tuhan
sebagai penentu takdir. Inilah yang oleh Sartre disebut sebuah “pelarian” dari
apa-apa yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh diri sendiri. Maka menurut
Sartre, manusia dan doa-doanya merupakan sebuah hasrat yang sia-sia.
Benarkah itu? Saya tidak menjawab “ya” karena pendirian saya menyatakan
tidak. Karena dalam tinjauan ilmu tasawuf disebutkan, mereka yang begitu yakin
dan betul-betul memasrahkan dirinya kepada Allah adalah orang yang ma`rifat.
Mereka yang sudah masuk pada tahapan ma`rifat ini memiliki pengetahuan yang
tidak bisa diketahui secara nalar (reason) maupun inderawi—karena hanya
dirasakan dan diketahui oleh orang yang mengalaminya saja. Contohnya perasaan
cinta seseorang kepada lawan jenis tidak akan dirasakan oleh orang lain, tapi
hanya dia yang mengalaminya yang akan merasakan betapa bergelora rasa cinta di
hatinya itu. Begitupun dengan rasa pasrah (berserah diri) yang diwujudkan dalam
bentuk doa merupakan sebuah kesadaran yang tinggi kepada Allah Yang
Mahasegalanya. Inilah pendapat yang saya kira dapat dibenarkan ke-absahan-nya.
Sebuah kepasrahan maupun berserah diri kepada Allah tidaklah sia-sia.
Bagi saya tidak ada yang sia-sia di dunia. Semuanya bermakna dan mengandung
hikmah. Buktinya bila kita sedang mengalami sakit pasti ingin sembuh—karena
tahu enak dan nikmatnya sehat. Bahkan dengan sakit itu dokter, perawat, dan apoteker
dapat mengais rezeki. Artinya, orang yang sakit bukanlah sedang dapat murka
Allah, tapi tengah diberi kesempatan untuk menghidupi kebutuhan hidup dokter,
perawat, apoteker dan mereka yang bekerja di klinik maupun rumah sakit. Karena
jika seluruh manusia di dunia ini semuanya sehat maka mereka yang bekerja di
klinik dan rumah sakit akan menganggur, atau mungkin beralih profesi. Di sisi
lain, dengan sakit berarti kita sedang disadarkan bahwa manusia itu lemah dan
tidak berdaya dihadapan Allah. Bahkan dengan sakitlah kita dapat terhindar dari
perbuatan dan tingkah laku keseharian yang dapat menimbulkan dosa—yang kadang
tidak kita sadari. Bukankah lebih baik menderita di dunia dari pada nanti di
akhirat?
Inilah hikmahnya, ada kehendak Allah yang lebih maslahat di atas
keinginan makhluk-Nya—“Katakanlah : tidak akan menimpa kita (suatu musibah)
melainkan sudah Allah tentukan bagi kita. Dialah pelindung kita dan kepada
Allah jua orang-orang beriman pasrah sepenuhnya (QS At-Thaubah : 51).
Jadi, kepasrahan kita dalam berdoa, berikhtiar, dan menerima musibah
merupakan proses yang dapat mendekatkan diri kepada Allah (muraqabatullah). Dan
mereka inilah yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Sebab mereka yang
menerima dengan penuh kesabaran dan rasa syukur merupakan bukti keimanannya
kepada Allah Yang Mahaghaib—Innaka anta allaamul ghuyuub (QS Al-Maidah : 109).
Yakni mereka yang mengisi kehidupan dunia ini dengan berbagai macam ibadah.
Mereka yang senantiasa bersabar ketika tertimpa musibah dan menganggapnya sebagai
ujian dari Allah. Mereka yang bersyukur atas apa-apa yang mereka punyai dan
miliki. Mereka yang selalu memasrahkan segala keresahan, kegelisahan, dan
harapan dan cita-citanya kepada Allah. Mereka inilah saya kira ini ibarat
petani yang sedang bercocoktanam. Seorang petani sangat yakin dirinya kelak
setelah menebar benih akan memetik hasilnya. Begitu pun dengan mereka yang
percaya kepada Allah melalui kepasrahan kepada-Nya akan mendapatkan hasil
(pahala) di akhirat nanti.
Dengan demikian, bila seorang muslim bersabar dan bersyukur atas apa
pun yang menimpa kehidupannya, maka itu menjadi bukti keimanannya kepada Allah.
Karena dengan sabar orang yang beriman tidak akan menyalahkan takdir. Malah ia
akan menganggap musibah sebagai ujian dari Allah—dalam rangka menyeleksi
Muslim-Muslimah yang berprestasi menurut Allah. Oleh karena itu, kita harus
betul-betul mengoptimalkan diri untuk selalu bersabar dan bersyukur atas apa
pun yang menimpa hidup kita. Yakni dengan memasrahkan diri kepada Allah. Sesuai dengan ayat Al-Quran yang dibaca dalam setiap bacaan iftitah sebelum surah Al-Fatihah, yaitu “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS Al-An`am: 162). Cag! *** (ahmad sahidin)