Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma
shalli ala Sayyidina Muhammad wa aali Sayyidina Muhammad
Bapak
dan Ibu—keduanya sudah almarhum—tidak berani langsung memakan pemberian kalau
belum berkumpul semuanya. Dari kakak tertua sampai saya yang bungsu, duduk
dilantai dengan karpet plastik yang sudah bolong menanti jatah. Ibu yang
biasanya membagikan nasi dan lauk yang diberi dari tetangga. Kalau tidak ada
pemberian, kami sekeluarga cukup makan dengan nasi putih dingin dan goreng tahu
atau tempe, kadang gorengan bala-bala atau gehu menjadi teman santap nasi.
Biasanya Bapak membawanya sepulang dari mengajar ngaji anak-anak yang kemampuan
ekonominya lebih dari cukup.
Dalam seminggu, dua kali Bapak membawa
gorengan. Meskipun pulangnya sekira pukul 22.00 an, gorengan yang dingin itu
ditunggu-tunggu untuk dilahap bersama. Kalau bawanya cukup banyak, Ibu
menggoreng kembali dan sebagian diberikan kepada petugas kebersihan masjid yang
dibawa saat akan shalat subuh.
Kalau dahulu sebelum shalat sempat berbagi
makanan, sekarang lain lagi. Selepas wudhu sambil menunggu azan shubuh, bukan
gorengan yang saya bawa, tetapi buku atau majalah. Tidak untuk diberikan,
tetapi dibaca. Istri saya pernah menegur, sebaiknya yang dibaca sebelum shalat
kitab suci Al-Quran.
Makna Iqra
Saya tersenyum dan sedikit melakukan pembelaan bahwa buku
yang saya baca isinya membahas keagungan dan penjelasan dari ayat-ayat Allah.
Dengan pengetahuan yang pas-pasan saya berdalih bahwa wahyu yang turun kali
pertama kepada Kangjeng Nabi Muhammad saw adalah iqra, yang artinya
membaca. Makna membaca luas tidak hanya teks suci, tetapi semesta alam pun
bagian dari kegungan Tuhan yang harus dipelajari. Kalau sudah berdalih begitu,
istri saya diam dan tersenyum kemudian saya meneruskan baca hingga berkumandang
azan untuk shalat subuh.
Namun sayangnya, kebiasaan baca sebelum shalat
subuh ini tak lagi saya lakukan karena terbangun dari tidur ketika azan
berkumandang. Meski begitu kegiatan baca buku masih dilakukan. Hanya
waktu yang berubah: menjelang berangkat beraktivitas.
Usai membaca buku, sesekali terpikir untuk
menulis buku. Namun tidak segera tertuang karena selalu muncul pertanyaan yang
beruntun: bisakah menulis buku? Siapa yang mau menerbitkan bukumu? Emang saya
ini siapa, berani-beraninya memberikan nasihat dan pencerahan kepada orang
melalui buku?
Kalau sudah muncul pertanyaan demikian,
keinginan untuk menulis buku menjadi terhambat dan mencukupkan diri dengan
sekadar menulis resensi buku, artikel, dan esai pendek untuk dimuat pada blog, notes
facebook, dan media cetak. Lumayan, menulis artikel untuk media cetak kalau
dimuat bisa untuk beli buku baru dan traktir istri makan bakso atau
makan-makan. Namun, tidak setiap kali mengirim tulisan pada media cetak itu
dimuat dan berbuah rasa bahagia. Malahan lebih banyak yang ditolaknya ketimbang
dimuat. Kalau dikembalikan, biasanya saya simpan pada folder khusus. Mungkin
sudah ada puluhan, yang resensi buku sebagian saya muat pada blog.
Sementara tulisan-tulisan jenis artikel saya
simpan dalam flashdish. Mungkin karena kebodohan saya, flashdish
terkena virus ketika dipinjam seorang teman yang memindahkan file. Tentu
saja saya memarahinya. Saya jelaskan bahwa di dalamnya terdapat artikel-artikel
yang bagi saya teramat penting. Sejak kejadian itu saya sampai sekarang sedikit
pelit untuk meminjamkan flashdish, takut kehilangan files lagi.
Alhamdulillah, hilangnya files tidak membuat saya
berhenti dalam kegiatan baca buku dan menulis. Dalam sebulan tidak kurang dari
tiga tulisan yang saya buat, baik artikel maupun resensi buku. Setiap kali
selesai baca buku atau mendengarkan ceramah atau menghadiri seminar selalu saja
ada ide yang ingin dituliskan. Kemudian tulisan itu saya muat dalam blog dan
dibagikan pada teman-teman dalam media sosial.
Banyak teman yang merespon dari beberapa
tulisan saya. Dari berbagai respon yang muncul, tulisan tersebut kemudian saya
olah kembali menjadi tulisan yang bisa disebut utuh. Setiap kali melihat
kumpulan tulisan artikel yang saya tulis, teringat kembali pada keinginan untuk
membuat buku.
Setiap kali teringat ingin membuat buku, muncul lagi
kalimat-kalimat “penghambat” tersebut.
Saya teringat pada
sabda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang diucapkan kembali oleh penerus
ajarannya, Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah: “Ikatlah ilmu
dengan menuliskannya.”
Ya, dalam rangka mengikat ilmu yang didaptkan dari
buku-buku dan ceramah-ceramah, saya menuliskannya dalam blog ini--sebelum nanti berwujud buku. [ahmad sahidin]