HAJI mabrur seringkali terucap dari mulut seseorang yang
membahas perihal Rukun Islam ke-5, yaitu melaksanakan ibadah haji bagi yang
sudah mampu. Haji mabrur merupakan dambaan setiap muslim khususnya yang
berhaji. Entah mereka berusaha memahami makna kata tersebut atau tidak. Sebagai
upaya meningkatkan kualits diri di hadapan Allah, sudah selayaknya kita tidak
hanya mampu mengucapkan, tetapi juga memahami makna dan dapat meraihnya.
“Jihad yang paling utama adalah haji mabrur,” begitulah
Rasulullah SAW bersabda. Dari sabda tersebut jelas bahwa nilai ibadah haji
mabrur sangat begitu tinggi. Konsekuensinya, setiap yang bernilai tinggi, usaha
meraihnya pasti sulit. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memperolehnya.
Oleh karena itu, jama’ah mana yang dapat memperoleh derajat haji mabrur?
Mungkinkah semua jamaah khususnya yang berhaji tahun ini mendapatkan predikat
haji mabrur? Pasti sangat sulit menjawabnya secara hakiki. Karena yang
mengetahuinya hanyalah Allah. Namun sebagaimana kita mengukur “khusyu’nya”
shalat seseorang, kita dapat pula mengukur predikat haji seseorang. Sudah pasti
ukuran penilaian ini sifatnya relatif dan manusiawi.
Mabrur
Secara leksikal haji
mabrur artinya haji yang diterima Allah. Dari pengertian tersebut, kita tidak
dapat menentukan secara langsung bahwa haji seseorang mabrur atau tidak. Namun
demikian kita dapat melihat ciri-ciri orang yang memiliki predikat haji mabrur.
Jika kita menganalogikan untuk menentukan apakah tobat
seseorang diterima atau tidak, secara hakiki tidak mungkin kita mengetahuinya,
karena hal itu sifatnya gaib. Namun demikian kita dapat menentukan tobat
seseorang diterima atau tidak dari perilaku atau tanda-tanda pada seseorang
yang bertobat. Di antara tanda seseorang yang tobatnya diterima adalah
perubahan tingkah laku dari buruk menjadi baik, dari pamrih menjadi ikhlas,
dari acuh tak acuh menjadi peduli terhadap sesama, dari sombong menjadi rendah
hati, dari putus asa menjadi sabar, dan lain sebagainya. Begitu pula ketika
kita ingin melihat apakah ibadah haji seseorang diterima atau tidak dapat
dilihat dari perilaku sesudah (pulang)-nya. Apakah perilaku buruk yang
dilakukan sebelum berhaji tidak dilakukan lagi sesudahnya? Bagaimana kepedulian
terhadap sesama sesudah ia berhaji? Sudahkah kemalasan ibadahnya berganti dengan
rajin? Bagaimana sikap penyantun dan pengayomnya terhadap anak yatim atau
orang lemah ia tunjukkan sesudah pulang berhaji?
Kaum Muslim khususnya di negeri kita terkadang ada yang
kecewa gelar hajinya tidak disebut. Seolah bagi mereka status di depan manusia
sangat penting. Adapun, di depan Allah dianggapnya urusan akhirat. Jika ada
yang masih seperti itu, mabrurkah hajinya? Kita pun sering merasa tidak afdhal
jika tidak menyebutkan gelar K.H. (Kyai Haji) di depan seorang penceramah
kondang. Padahal terkadang gelaran tersebut menyebabkan seseorang terjebak
kepada sifat ujub atau riya.
Selain itu, banyak para jamaah haji yang melakukannya tanpa
pemahaman yang cukup. Sehingga aspek-aspek yang berkaitan dengan kesempurnaan
ibadah haji baru diketahuinya saat latihan manasik haji yang diselenggarakan
lembaga bimbingan haji baik pemerintah maupun swasta. Apakah ini dapat
mempengaruhi mabrur tidaknya ibadah haji seseorang? Menurut saya jika
ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman
tersebut disebabkan kelalaian atau mengentengkan urusan, akan ada pengaruhnya.
Namun, jika ketidakpahaman itu disebabkan ketidakadaan sarana atau kesempatan
belajar, tentu tidak. Begitu pula orang yang masih belajar memahami manasik
haji, tetapi memiliki keikhlasan tinggi, akan memperoleh haji mabrur. Bahkan
sebaliknya, seseorang yang memahami tata cara berhaji, tetapi memiliki sifat
riya dalam berhaji atau menggunakan biaya haji dengan uang haram (hasil mencuri, menipu, atau korupsi),
tentu hajinya tidak akan diterima.
Lantas, bagaimana predikat haji seseorang yang melakukannya
berulangkali seperti bertamasya tahunan? Jika haji tersebut didasari dengan
niat keikhlasan dan tidak ada pihak-pihak lain yang dirugikan atau
diterlantarkan, maka hajinya akan mabrur walaupun berkali-kali. Namun, bila
seseorang melakukan ibadah haji berkali-kali, sedangkan keluarga, kerabat, atau
tetangganya sengsara karena ketidakpeduliannya, saya yakin hajinya tidak
diterima. Begitu pula jika seseorang melakukan ibadah haji dengan ikhlas dan
berulangkali tetapi biaya hajinya didapat dari menipu orang, mencuri atau
korupsi, maka ibadah hajinya akan tertolak.
Dengan demikian, predikat mabrur tidaknya haji seseorang
sangat ditentukan niat yang ikhlas, tata cara pelaksanaan yang sesuai tuntunan
Rasulullah, dan kehalalan dananya. Selain itu, terlihat dalam perubahan
perilaku menjadi lebih baik sesudahnya. Namun, sekali lagi, hanya Allah swt
saja yang Maha Tahu hamba-hamba-Nya yang mabrur. Semoga Anda termasuk di
antaranya. [ahmad Sahidin]