Senin, 12 September 2016

Makna Haji Mabrur

HAJI mabrur seringkali terucap dari mulut seseorang yang membahas perihal Rukun Islam ke-5, yaitu melaksanakan ibadah haji bagi yang sudah mampu. Haji mabrur merupakan dambaan setiap muslim khususnya yang berhaji. Entah mereka berusaha memahami makna kata tersebut atau tidak. Sebagai upaya meningkatkan kualits diri di hadapan Allah, sudah selayaknya kita tidak hanya mampu mengucapkan, tetapi juga memahami makna dan dapat meraihnya. 

“Jihad yang paling utama adalah haji mabrur,” begitulah Rasulullah SAW bersabda. Dari sabda tersebut jelas bahwa nilai ibadah haji mabrur sangat begitu tinggi. Konsekuensinya, setiap yang bernilai tinggi, usaha meraihnya pasti sulit. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memperoleh­nya. Oleh karena itu, jama’ah mana yang dapat memperoleh derajat haji mabrur? Mungkinkah semua jamaah khususnya yang berhaji tahun ini mendapatkan predikat haji mabrur? Pasti sangat sulit menjawabnya secara hakiki. Karena yang mengetahuinya hanyalah Allah. Namun sebagaimana kita mengukur “khusyu’nya” shalat seseorang, kita dapat pula mengukur predikat haji seseorang. Sudah pasti ukuran penilaian ini sifatnya relatif dan manusiawi.

Mabrur
Secara leksikal  haji mabrur artinya haji yang diterima Allah. Dari pengertian tersebut, kita tidak dapat menentukan secara langsung bahwa haji seseorang mabrur atau tidak. Namun demikian kita dapat melihat ciri-ciri orang yang memiliki predikat haji mabrur.

Jika kita menganalogikan untuk menentukan apakah tobat seseorang diterima atau tidak, seca­ra hakiki tidak mungkin kita mengetahui­nya, karena hal itu sifatnya gaib. Namun demiki­an kita dapat menentukan tobat seseorang diterima atau tidak dari perilaku atau tanda-tanda pada seseorang yang bertobat. Di antara tanda seseorang yang tobatnya diterima adalah perubahan tingkah laku dari buruk menjadi baik, dari pamrih menjadi ikhlas, dari acuh tak acuh menjadi peduli terhadap sesama, dari sombong menjadi rendah hati, dari putus asa menjadi sabar, dan lain sebagainya. Begitu pula ketika kita ingin melihat apakah ibadah haji seseorang diterima atau tidak dapat dilihat dari perilaku sesudah (pulang)-nya. Apakah perilaku buruk yang dilakukan sebelum berhaji tidak dilakukan lagi sesudahnya? Bagaimana kepedu­li­an terha­dap sesama sesudah ia berhaji? Sudah­kah kema­las­an ibadahnya berganti dengan rajin? Bagai­mana sikap penyantun dan peng­a­yomnya terha­dap anak yatim atau orang lemah ia tunjuk­kan sesudah pulang berhaji?

Kaum Muslim khususnya di negeri kita terkadang ada yang kecewa gelar hajinya tidak disebut. Seolah bagi mereka status di depan manusia sangat penting. Adapun, di depan Allah dianggapnya urusan akhirat. Jika ada yang masih seperti itu, mabrurkah hajinya? Kita pun sering merasa tidak afdhal jika tidak menye­but­kan gelar K.H. (Kyai Haji) di depan seorang penceramah kondang. Padahal terkadang gelaran tersebut menyebabkan seseorang terjebak kepada sifat ujub atau riya.

Selain itu, banyak para jamaah haji yang melakukannya tanpa pemahaman yang cukup. Sehingga aspek-aspek yang berkaitan dengan kesempurnaan ibadah haji baru diketahuinya saat latihan manasik haji yang diselenggarakan lembaga bimbingan haji baik pemerintah maupun swasta. Apakah ini dapat mempengaruhi mabrur tidaknya ibadah haji seseorang? Menurut saya jika ketidaktahuan  atau kurangnya pemahaman tersebut disebabkan kelalaian atau mengentengkan urusan, akan ada pengaruhnya. Namun, jika ketidakpahaman itu disebabkan ketidakadaan sarana atau kesempatan belajar, tentu tidak. Begitu pula orang yang masih belajar memahami manasik haji, tetapi memiliki keikhlasan tinggi, akan memperoleh haji mabrur. Bahkan seba­lik­nya, seseorang yang memahami tata cara berhaji, tetapi memiliki sifat riya dalam berhaji atau menggunakan biaya haji dengan uang haram (hasil mencuri, menipu, atau korupsi), tentu hajinya tidak akan diterima.

Lantas, bagaimana predikat haji seseorang yang melakukannya berulangkali seperti bertamasya tahunan? Jika haji tersebut didasari dengan niat keikhlasan dan tidak ada pihak-pihak lain yang dirugikan atau diterlantarkan, maka hajinya akan mabrur walaupun berkali-kali. Namun, bila seseorang melakukan ibadah haji berkali-kali, sedangkan keluarga, kerabat, atau tetang­ganya sengsara karena ketidakpeduli­an­nya, saya yakin hajinya tidak diterima. Begitu pula jika seseorang melakukan ibadah haji dengan ikhlas dan berulangkali tetapi biaya hajinya didapat dari menipu orang, mencuri atau korupsi, maka ibadah hajinya akan tertolak.

Dengan demikian, predikat mabrur tidak­nya haji seseorang sangat ditentukan niat yang ikhlas, tata cara pelaksanaan yang sesuai tuntunan Rasulullah, dan kehalalan dananya. Selain itu, terlihat dalam perubahan perilaku menjadi lebih baik sesudahnya. Namun, sekali lagi, hanya Allah swt saja yang Maha Tahu hamba-hamba-Nya yang mabrur. Semoga Anda termasuk di antaranya. [ahmad Sahidin]