PADA suatu malam Umar bin Khaththab pergi ke pinggiran kota
Hurra Waqim bersama Aslam, salah seorang pembantunya. Ketika mereka sampai di
Shirar, Umar bin Khaththab melihat cahaya api.
“Hai Aslam, aku melihat di sana ada serombongan tamu yang
kemalaman. Mereka terpaksa berhenti di tempat itu karena kedinginan hingga
membuat perapian untuk menghangatkan tubuh mereka. Mari kita ke sana ,” kata
Umar sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Merekapun pergi ke tempat cahaya api
itu. Di tempat itu mereka menjumpai seorang wanita bersama anak-anaknya yang
masih kecil. Di atas nyala api terdapat sebuah panci yang sedang digunakan
untuk memasak sesuatu. Sementara itu anak-anak kecil itu menangis tanpa henti.
“Assalamu’alaikum, hai ahli cahaya,” kata Umar.
“ Wa’alaikum salam,” jawab wanita itu.
“ Boleh aku mendekat?” tanya Umar.
“Anda boleh mendekat kemari atau meninggalkan kami,” kata
wanita itu.
Setelah mendekat, Umar bertanya,”Mangapa kalian di sini?”
“Kami kemalaman dan kedinginan,” jawab wanita itu.
“Mengapa anak-anak itu menangis?” tanya Umar.
“Mereka kelaparan,” jawabnya wanita itu memberitahu.
“Lalu apa yang ibu masak dalam panci itu?” tanya Umar.
“Hanya air untuk sekadar mendiamkan tangis mereka sampai
tertidur,” jelasnya.
“Apakah pemerintah tidak memberikan makanan pada ibu dan
anak-anak?” tanya Umar menelisik.
Si wanita itu terdiam dan kemudian berbicara, “Allah beserta
kita dan Umar, pemimpin kami sekarang sedang mengabaikan kami,” jawab si wanita
yang tidak mengetahui bahwa diajaknya berbicara itu Umar bin Khaththab.
Umar terdiam. Ia pamit dan segera mengajak Aslam berjalan
dengan langkah yang cepat ke gudang penyimpanan tepung. Umar mengambil satu
kantong tepung dan sepotong daging
berlemak.
“Naikkan ke punggungku,” kata Umar memberi perintah kepada
Aslam.
“Biar aku saja yang memikulnya,” jawab Aslam.
“Apakah engkau yang memikul dosaku di hari kiamat?” ujar
Umar.
Aslam pun menaruh satu kantong tepung di punggung Umar.
Lalu, Umar setengah berlari menuju tempat si wanita dan anak-anak tadi. Aslam
mengikutinya di belakang. Sesampainya di tempat itu, Umar menaruh kantong
tepung yang dibawanya. Ia mengambil sebagian tepung gandum itu dan
dimasukkannya ke dalam panci untuk dimasak.
“Aduklah tepung yang ada di dalam panci itu, aku akan
menyalakan apinya,” printah Umar kepada wanita itu. Setelah api menyala dan
adonan masak, Umar menurunkan makanan di atas wadah.
“Berikan makanan kepada anak-anakmu yang kelaparan. Biarlah
aku yang akan mendinginkan makanan ini,” kata Umar.
Setelah anak-anaknya kenyang wanita itu berkata, ”Terima
kasih, Tuan. Anda lebih baik ketimbang
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Kami kira Anda yang lebih tepat
untuk menjadi pemimpin kami.”
Mendengar itu Umar tersenyum. Si wanita itu tidak mengetahui
bahwa Umar yang telah membantunya itu.
Dari cerita di atas jelas bahwa masalah kemiskinan,
kelaparan, atau tanggungjawab sosial masyarakat yang tidak mampu (dhuafa)
adalah tanggungjawab pemerintah. Negara kita pun dalam Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan tentang hal tersebut. Namun,
baru sekadar mencantumkannya. Belum terbukti. Malah pada tahun ini jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 12,2
juta orang. Entah bagaimana nasibnya. Sudah menjadi hukum alam banyaknya
pengangguran mengakibatkan kejahatan meningkat karena urusan perut tidak bisa
diselesaikan dengan sekadar uang pesangon yang paling lama hanya cukup empat
bulan. Setelah itu, terlunta-lunta mencari untuk sesuap nasi untuk dirinya dan
keluarga yang menjadi tanggungannya.
Memang itu tanggung jawab pemerintah. Apabila tidak mampu
dan malah menambah jumlah, saya kira umat Islam dan warga Indonesia patut untuk
memikirkan dan bergerak membuat sebuah solusi agar dapak dari penganguran dan
kemiskinan tidak menambah ruwet persoalan bangsa. Program pemberdayaan ekonomi
mikro dari pengusaha-pengusaha besar dan kesudian para pejabat papan atas untuk
menyisihkan dana, saya kira sedikitnya bisa mengurangi dampak negatif atau
masalah-masalah kriminanlitas di Indonesia.
Andai pemimpin kita seperti Umar: cepat tanggap dan cepat
bergerak, pasti tidak akan ada lagi orang-orang yang mengamen di pinggir jalan
dan tidak akan ada anak kecil (bayi) yang wafat karena busung lapar. Semoga saja
ada yang dapat meneladaninya. [ahmad sahidin]