Kamis, 22 September 2016

Andai Pemimpin Kita Seperti Umar

PADA suatu malam Umar bin Khaththab pergi ke pinggiran kota Hurra Waqim bersama Aslam, salah seorang pembantunya. Ketika mereka sampai di Shirar, Umar bin Khaththab melihat cahaya api.

“Hai Aslam, aku melihat di sana ada serombongan tamu yang kemalaman. Mereka terpaksa berhenti di tempat itu karena kedinginan hingga membuat perapian untuk menghangatkan tubuh mereka. Mari kita ke sana ,” kata Umar sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Merekapun pergi ke tempat cahaya api itu. Di tempat itu mereka menjumpai seorang wanita bersama anak-anaknya yang masih kecil. Di atas nyala api terdapat sebuah panci yang sedang digunakan untuk memasak sesuatu. Sementara itu anak-anak kecil itu menangis tanpa henti.

“Assalamu’alaikum, hai ahli cahaya,” kata Umar.
“ Wa’alaikum salam,” jawab wanita itu.
“ Boleh aku mendekat?” tanya Umar.
“Anda boleh mendekat kemari atau meninggalkan kami,” kata wanita itu.
Setelah mendekat, Umar bertanya,”Mangapa kalian di sini?”
“Kami kemalaman dan kedinginan,” jawab wanita itu.
“Mengapa anak-anak itu menangis?” tanya Umar.
“Mereka kelaparan,” jawabnya wanita itu memberitahu.
“Lalu apa yang ibu masak dalam panci itu?” tanya Umar.
“Hanya air untuk sekadar mendiamkan tangis mereka sampai tertidur,” jelasnya.
“Apakah pemerintah tidak memberikan makanan pada ibu dan anak-anak?” tanya Umar menelisik.

Si wanita itu terdiam dan kemudian berbicara, “Allah beserta kita dan Umar, pemimpin kami sekarang sedang mengabaikan kami,” jawab si wanita yang tidak mengetahui bahwa diajaknya berbicara itu Umar bin Khaththab.     

Umar terdiam. Ia pamit dan segera mengajak Aslam berjalan dengan langkah yang cepat ke gudang penyimpanan tepung. Umar mengambil satu kantong  tepung dan sepotong daging berlemak.

“Naikkan ke punggungku,” kata Umar memberi perintah kepada Aslam.
“Biar aku saja yang memikulnya,” jawab Aslam.
“Apakah engkau yang memikul dosaku di hari kiamat?” ujar Umar.

Aslam pun menaruh satu kantong tepung di punggung Umar. Lalu, Umar setengah berlari menuju tempat si wanita dan anak-anak tadi. Aslam mengikutinya di belakang. Sesampainya di tempat itu, Umar menaruh kantong tepung yang dibawanya. Ia mengambil sebagian tepung gandum itu dan dimasukkannya ke dalam panci untuk dimasak.

“Aduklah tepung yang ada di dalam panci itu, aku akan menyalakan apinya,” printah Umar kepada wanita itu. Setelah api menyala dan adonan masak, Umar menurunkan makanan di atas wadah.
“Berikan makanan kepada anak-anakmu yang kelaparan. Biarlah aku yang akan mendinginkan makanan ini,” kata Umar.

Setelah anak-anaknya kenyang wanita itu berkata, ”Terima kasih, Tuan. Anda lebih baik ketimbang  Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Kami kira Anda yang lebih tepat untuk menjadi pemimpin kami.”

Mendengar itu Umar tersenyum. Si wanita itu tidak mengetahui bahwa Umar  yang telah membantunya itu.

Dari cerita di atas jelas bahwa masalah kemiskinan, kelaparan, atau tanggungjawab sosial masyarakat yang tidak mampu (dhuafa) adalah tanggungjawab pemerintah. Negara kita pun dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tentang hal tersebut.  Namun, baru sekadar mencantumkannya. Belum terbukti. Malah pada tahun ini  jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 12,2 juta orang. Entah bagaimana nasibnya. Sudah menjadi hukum alam banyaknya pengangguran mengakibatkan kejahatan meningkat karena urusan perut tidak bisa diselesaikan dengan sekadar uang pesangon yang paling lama hanya cukup empat bulan. Setelah itu, terlunta-lunta mencari untuk sesuap nasi untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya.

Memang itu tanggung jawab pemerintah. Apabila tidak mampu dan malah menambah jumlah, saya kira umat Islam dan warga Indonesia patut untuk memikirkan dan bergerak membuat sebuah solusi agar dapak dari penganguran dan kemiskinan tidak menambah ruwet persoalan bangsa. Program pemberdayaan ekonomi mikro dari pengusaha-pengusaha besar dan kesudian para pejabat papan atas untuk menyisihkan dana, saya kira sedikitnya bisa mengurangi dampak negatif atau masalah-masalah kriminanlitas di Indonesia.

Andai pemimpin kita seperti Umar: cepat tanggap dan cepat bergerak, pasti tidak akan ada lagi orang-orang yang mengamen di pinggir jalan dan tidak akan ada anak kecil (bayi) yang wafat karena busung lapar. Semoga saja ada yang dapat meneladaninya. [ahmad sahidin