Jumat, 23 September 2016

Pentingnya Berjiwa Sosial

SUATU hari Ali bin Abu Thalib melihat seorang wanita setengah baya membawa kantung air dari kulit dengan tergopoh-gopoh. Ali kemudian menawarkan bantuan, hingga membawakannya ke rumah wanita itu. Ali menanyakan kenapa keluarganya tidak membantunya.

Wanita itu menjawab, ”Ya Amirul Mukminin, di rumah ini tidak ada lelaki dewasa karena suamiku telah wafat ketika berperang bersamamu melawan kaum kafir, dan anak-anakku masih kecil.”

Mendengar penututuran itu Ali segera pulang ke rumah. Ia termenung dan memikirkan terus, hingga dikabarkan tidak tidur semalam suntuk. Esoknya, bersama kedua putranya datang kembali ke rumah wanita itu dengan membawa sekarung gandum dan beberapa kilo daging. Mereka memasak dan menghidangkannya kepada wanita dan anak-anaknya itu.

Selesai menghidangkan makanan, Ali mengambil bara api dengan kedua tangannya. Bara itu digenggam dengan sekuat-kuatnya seraya berujar, “Ali, rasakanlah panasnya bara ini agar kau tidak melupakan panasnya api neraka karena melalaikan kaum mustadhafin.”

Sungguh luar biasa menantu Rasulullah saw ini. Ia menyadarkan dirinya sendiri dengan sengatan api dunia agar tidak lalai dan senantiasa berada dalam keadaan sadar. Dengan cara itu Ali sengaja mengingatkan akibat yang akan diterima kelak di akhirat bila melupakan nasib dan kehidupan kaum mustadhafin.

Kita tahu akhir-akhir ini negeri kita dilanda musibah. Penderitaan dan beban hidup yang dialami mereka, seharusnya, menjadikan kita iba dan tergerak untuk membantunya. Dan kita patut bertanya, apakah kita sudah berbuat yang terbaik untuk mereka? Ini yang patut kita pertanyakan. Ini yang harus disadari dengan sungguh-sungguh, bahwa mengabaikan orang-orang mustadhafin termasuk pendusta agama. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Adalah orang yang menghardik anak yatim, dan  tidak menganjurkan memberi makan (bantuan pangan) kepada orang miskin.  Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya, yang berbuat riya; dan enggan memberikan bantuan” (QS. Al-Maun [107]:1-7).

Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula terima kasih”(Qs Al-Insan [76]: 8-9). Menurut para mufasir, ayat ini mengacu pada peristiwa keluarga Nabi Muhammad saw yang sedang melakukan shaum. Di saat hendak berbuka, seorang yatim datang dan meminta makanan.

Akhirnya, makanan yang tadinya disiapkan untuk buka shaum itu diberikan padanya tanpa menyisakan sedikitpun. Dan mereka berbuka hanya dengan air minum saja. Inilah contoh mukmin yang berani mengorbankan kebutuhan pribadinya untuk kebahagiaan orang lain yang lebih membutuhkannya. Perbuatan tersebut oleh Allah diabadikan dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum mereka, mereka 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka; dan mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Pentingnya berjiwa sosial ini disabdakan pula oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Barangsiapa tidak menaruh kasih sayang kepada orang lain, ia tidak akan menerima kasih sayang dari Allah.”  Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda, ”Barangsiapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan maka Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. ”


Inilah landasan untuk peduli terhadap sesama yang sedang dilanda musibah sebagai bentuk kasih sayang antar manusia. Orang yang jiwa sosialnya tinggi maka derajatnya makin naik; karena secara kemanusiaan ia akan dikenal sebagai sosok humanis dan penyayang, dan secara agama dinilai sebagai orang shalih. Kita yang hidup dalam keadaan normal atau tidak sedang tertimpa musibah, sudah sepatutnya ikut meringankan derita orang-orang dhuafa yang ada di sekitar kita. [ahmad sahidin]