SUATU hari Ali bin Abu Thalib melihat seorang wanita
setengah baya membawa kantung air dari kulit dengan tergopoh-gopoh. Ali
kemudian menawarkan bantuan, hingga membawakannya ke rumah wanita itu. Ali
menanyakan kenapa keluarganya tidak membantunya.
Wanita itu menjawab, ”Ya Amirul Mukminin, di rumah ini tidak
ada lelaki dewasa karena suamiku telah wafat ketika berperang bersamamu melawan
kaum kafir, dan anak-anakku masih kecil.”
Mendengar penututuran itu Ali segera pulang ke rumah. Ia
termenung dan memikirkan terus, hingga dikabarkan tidak tidur semalam suntuk.
Esoknya, bersama kedua putranya datang kembali ke rumah wanita itu dengan
membawa sekarung gandum dan beberapa kilo daging. Mereka memasak dan
menghidangkannya kepada wanita dan anak-anaknya itu.
Selesai menghidangkan makanan, Ali mengambil bara api dengan
kedua tangannya. Bara itu digenggam dengan sekuat-kuatnya seraya berujar, “Ali,
rasakanlah panasnya bara ini agar kau tidak melupakan panasnya api neraka
karena melalaikan kaum mustadhafin.”
Sungguh luar biasa menantu Rasulullah saw ini. Ia
menyadarkan dirinya sendiri dengan sengatan api dunia agar tidak lalai dan
senantiasa berada dalam keadaan sadar. Dengan cara itu Ali sengaja mengingatkan
akibat yang akan diterima kelak di akhirat bila melupakan nasib dan kehidupan
kaum mustadhafin.
Kita tahu akhir-akhir ini negeri kita dilanda musibah.
Penderitaan dan beban hidup yang dialami mereka, seharusnya, menjadikan kita
iba dan tergerak untuk membantunya. Dan kita patut bertanya, apakah kita sudah
berbuat yang terbaik untuk mereka? Ini yang patut kita pertanyakan. Ini yang
harus disadari dengan sungguh-sungguh, bahwa mengabaikan orang-orang
mustadhafin termasuk pendusta agama. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan
agama? Adalah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan (bantuan
pangan) kepada orang miskin. Maka
celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap
shalatnya, yang berbuat riya; dan enggan memberikan bantuan” (QS. Al-Maun
[107]:1-7).
Dalam ayat lain Allah berfirman, “Dan mereka memberikan
makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula terima
kasih”(Qs Al-Insan [76]: 8-9). Menurut para mufasir, ayat ini mengacu pada
peristiwa keluarga Nabi Muhammad saw yang sedang melakukan shaum. Di saat
hendak berbuka, seorang yatim datang dan meminta makanan.
Akhirnya, makanan yang tadinya disiapkan untuk buka shaum
itu diberikan padanya tanpa menyisakan sedikitpun. Dan mereka berbuka hanya
dengan air minum saja. Inilah contoh mukmin yang berani mengorbankan kebutuhan
pribadinya untuk kebahagiaan orang lain yang lebih membutuhkannya. Perbuatan
tersebut oleh Allah diabadikan dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum mereka, mereka 'mencintai'
orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka; dan mereka
mengutamakan atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung” (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Pentingnya berjiwa sosial ini disabdakan pula oleh
Rasulullah saw dalam sabdanya, “Barangsiapa tidak menaruh kasih sayang kepada
orang lain, ia tidak akan menerima kasih sayang dari Allah.” Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah saw
bersabda, ”Barangsiapa memudahkan orang yang tengah dilanda kesulitan maka
Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. ”
Inilah landasan untuk peduli terhadap sesama yang sedang
dilanda musibah sebagai bentuk kasih sayang antar manusia. Orang yang jiwa
sosialnya tinggi maka derajatnya makin naik; karena secara kemanusiaan ia akan
dikenal sebagai sosok humanis dan penyayang, dan secara agama dinilai sebagai
orang shalih. Kita yang
hidup dalam keadaan normal atau tidak sedang tertimpa musibah, sudah sepatutnya
ikut meringankan derita orang-orang dhuafa yang ada di sekitar kita. [ahmad sahidin]