Abdul
Karim Soroush lahir di Teheran, Iran, tahun 1945. Pendidikan menengah
di Sekolah Menengah Murtazawi dan Sekolah Menengah Alawi, dan masuk
Jurusan Farmakologi Universitas Teheran, Iran. Kemudian melanjutkan ke
program doktor bidang sejarah dan filsafat sains di Chelsea College,
London, Inggris.
Semasa belajar di Sekolah
Dasar, Soroush menyenangi puisi-puisi karya Sa`di dan sering membuat
puisi. Saat di sekolah menengah sempat menjadi anggota Anjoman-e
Hojatiyyeh (organisasi yang khusus mengkaji tradisi Syi`ah dan
ajaran-ajaran Bahai`) dan terlibat dalam organisasi non-sekterian Muslim
Qurani.
Abdul Karim Soroush mengaku bahwa dirinya sangat
mengagumi pemikiran keagamaan dan filsafat Ayatullah Murtadha
Muthahhari, terutama karya-karya Muthahhari yang berbau filsafat. Salah
satunya buku komentar dan penjelasan (syarh) atas karya Allamah Muhammad
Husain Thabathabai` yang berjudul Ushul Falsafe wa Rawish-e Rialism.
Bahkan Soroush mendapatkan bimbingan langsung dari ulama yang
direkomendasikan Muthahhari saat meminta padanya untuk diajari filsafat
Islam. Kekaguman Soroush pada Muthahhari tidak menutupnya untuk
melayangkan kritik yang cukup pedas. Menurut Soroush, Muthahhari merupakan
sosok ulama-intelektual yang pemikiran-pemikirannya terlihat
menyakralkan filsafat Islam. Padahal, filsafat Islam tidak
lain hanyalah variasi dari filsafat Yunani dan produk pemikiran manusia
yang masih terbuka untuk dikritik dan direvisi ulang.
Karya
Selain
karya Muthahhari, ia juga membaca ‘Tafsir Al-Mizan’ karya Allamah
Muhammad Husain Thabathabai`, ‘Al-Hikmah Al-Muta`aliyah Fi Al-Asfar
Al-Aqliyyat Al-Arba`ah’ karya Mulla Shadra, ‘Al-Mahajjah Al-Baidha’
karya Faiz al-Kasyani, ‘Ihya Ulumuddin’ karya Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali, dan karya-karya Jalaluddin Rumi dan Hafiz.
Karier
yang sempat dijalaninya adalah Direktur Laboratorium (produk makanan)
Toiletteries, dosen Universitas Teheran, profesor tamu untuk studi Islam
di universitas-universitas Amerika Serikat (Harvard, Yale, dan
Princeton), anggota Dewan Revolusi Kebudayaan yang didirikan Imam
Khomeini untuk membahas dan mereview silabus pelajaran dan sistem
pendidikan Iran; dan saat di Inggris aktif dalam kegiatan ilmiah dan
keagamaan di Islamic Center Imam Barah, London.
Kegemaran Soroush
dalam membaca dan menulis membuahkan buku-buku seperti ‘Sifat Dinamis
Alam Semesta’ (membahas tentang tauhid, al-ma`ad, dan teori harakah
al-jauhariyah Mulla Shadra), ‘Ilmu Pengetahuan dan Nilai’ (buku ini
ditulis dan diselesaikannya di Inggris saat menempuh pendidikan doktor),
‘Hikmah wa Ma`isyah’, ‘Aushaf-e Parsawan’, ‘The Hermeneutical Expansion
and Contraction of Theory of Syari`a’, dan menulis artikel-artikel di
Jurnal Kiyan.
Pada masa-masa berlangsungnya gerakan Revolusi
Islam Iran, Soroush sering menghadiri ceramah dan diskusi ilmiah
cendekiawan Ali Syari`ati yang diselenggarakan di Husainiyah Al-Irsyad
dan pengajian-pengajian Murtadha Muthahhari dan ulama lainnya.
Saat
menjadi dosen di Fakultas Keagamaan Universitas Teheran, kuliah Soroush
banyak diminati para mahasiswa. Dikarenakan pemikirannya berbeda dan
kritis pada pemikiran-pemikiran ulama Syi`ah, pada 1995-1996 Abdul Karim
Soroush dilarang memberikan kuliah oleh organisasi Anshar-e Hizbullah.
Soroush—sebagaimana
dikatakan Goenawan Mohammad—sosok intelektual kritis yang menggugat
kebekuan tradisi dan tidak menghendaki adanya otoritas tunggal. Ide-ide
liberal dan kritis itulah yang membuat Soroush tak disenangi para ulama
Syi`ah dan mendapat kritik dari ulama ternama seperti Muhammad Said
Bahman Pour dan Ayatullah Ja’far Subhani.
Meski kritik
bertubi-tubi terlempar padanya, tapi Soroush tetap dikagumi kaum muda
Muslim dan ide-idenya banyak dibicarakan kalangan akademisi, termasuk di
Indonesia. Robin Wright, jurnalis Los Angeles Times di Amerika,
menokohkan Soroush sebagai ‘Muslim Luther Iran’ dan majalah Time edisi
April 2005 menobatkan Soroush sebagai satu dari 100 orang berpengaruh di
dunia.
Pemikiran Keagamaan
Pemikiran yang terkenal dari Soroush adalah
membedakan antara pengetahuan agama yang merupakan hasil pemahaman dari
teks tersebut (syarh) dengan agama sebagai teks suci (syari`); atau
Islam sebagai identitas dan Islam sebagai kebenaran. Islam model pertama
adalah alat ideologis untuk identitas sekaligus respon terhadap apa
yang saat ini kita kenal dengan ‘krisis identitas’. Yang termasuk pada
model ini adalah Islam yang berwajah sekte atau mazhab dan Islam yang
bercampurbaur dengan budaya lokal. Sementara Islam model kedua merupakan
Islam sebagai sumber kebenaran yang menunjukkan jalan kedamaian. Model
Islam kedua ini, menurut Soroush adalah Islam yang dijalankan dan
didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw yang misinya menyeru manusia kepada
kebenaran dengan jalan damai.
Pemikirannya ini merupakan bentuk
kritik terhadap kalangan Muslim ortodoks yang membuat pengetahuan agama
menjadi suatu doktrin yang sakral, bahkan hampir disamakan dengan wahyu.
Contohnya disiplin fiqh, tasawuf, teologi (kalam), tafsir, dan
filsafat—yang merupakan hasil interpretasi para ulama atas nash-nash
Islam—hingga kini masih tertutup untuk dikritisi. Sehingga, bila ada
yang berupaya mengkritisinya akan dianggap menentang agama. Fakta ini
banyak ditemukan dalam bentuk fatwa-fatwa fiqh. Kaum Muslim tidak berani
untuk keluar dari fatwa-fatwa ulama dan bahkan mengikat dirinya dengan
produk intrepretasi yang dilegalkan melalui institusi agama maupun
otoritas seorang ulama ternama.
Itu sebabnya Soroush berupaya
untuk memunculkan kembali wacana tentang agama sebagai produk Ilahi
(syari`) dan pemahaman agama yang merupakan produk pemikiran atau
penafsiran manusia terhadap agama itu sendiri (syarih). Disiplin agama Islam seperti fiqh, teologi (kalam), tasawuf, dan sistem
pemerintahan yang digunakan di negara-negara Islam, pada dasarnya
terlahir dari sebuah upaya memahami wahyu. Sehingga kedudukannya tidak
sakral dan bisa mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan konteks
zaman. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Mereka mengubah pemahaman
agama menjadi ideologi atau ideologisasi agama. Mereka lebih senang
menggunakan Islam demi kepentingan identitasnya (baca: politik, ekonomi,
budaya, dan mazhab) ketimbang sebagai jalan kedamaian dan kebenaran.
Fakta adanya kepentingan identitas inilah yang bisa dianggap bentuk
ideologisasi agama; dan ini tidak hanya terjadi di dunia Islam, tapi
juga pada agama-agama lainnya. Mereka dengan dalih menjaga kesucian
agama, menolak berhubugan dengan komunitas agama di luarnya. Akibatnya,
agama menjadi tertutup dan kaku karena ideologisasi agama selalu
menginginkan yang ideal, bersifat fanatis, dan berpikiran sempit. Inilah
bentuk kecacatan dalam agama yang diakibatkan oleh pemahaman para
penganutnya.
Dari ideologisasi agama ini, kata Soroush, yang
paling berbahaya adalah sikap ketaatan buta kepada ulama dan
mencampuradukkan antara ‘agama’(syari`) dengan ‘pemahaman agama’
(syarih). Sikap tersebut akan menjebak umat beragama dalam ajaran yang
tidak benar dan melupakan fitrah manusia di tengah kehidupan
bermasyarakat. Sikap ketaatan buta ini bila tetap masih melekat maka
menjadikan orang yang beragama itu menghambakan dirinya pada ajaran
agama (pemahaman agama) dan melupakan Tuhan. Akhirnya, mereka yang
terjebak dalam sikap ini hidupnya cenderung asosial, eksklusif, fanatik,
dan selalu sentimen kepada pemeluk agama lain. Itulah bahayanya bila
pemahaman agama disakralkan dan menjadi ideologi.
Agar kaum
Muslim tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru, harus berupaya
memahami makna kebenaran aga itu sendiri. Menurutnya, nilai kebenaran
sebuah agama dapat dilihat dari kebenaran teologis dan kebenaran
historis. Kebenaran teologis yang mengetahui hanya pencipta agama itu
sendiri, yaitu Tuhan. Maka, tak ada satu pihak pun yang berhak merasa
(mengaku) paling tahu tentang kebenaran agama. Sementara untuk melacak
kebenaran historis sebuah agama dapat dilihat dari sejauhmana agama
tersebut bermanfaat dan dapat membebaskan umat manusia dari
belenggu-belenggu kejahatan maupun masalah-masalah sosial dan
kemanusiaan.
Mengenai kebenaran agama, Soroush menuturkan, “Saya
percaya bahwa kebenaran di mana pun sama; tidak mungkin kebenaran
berselisih dengan kebenaran. Semua kebenaran adalah pemukim ditempat
yang sama dan bintang-bintang dari yang rasi sama. Satu kebenaran yang
berada disudut dunia pasti bersesuaian dengan semua kebenaran ditempat
lain. Jika tidak, itu bukan kebenaran. Oleh karena itu, saya tidak
pernah lelah mencari kebenaran di arena intelek dan opini yang beragam.
Kebenaran sungguh suatu rahmat, sebab kebenaran mendorong pencarian
secara terus-menerus dan melahirkan pluralisme yang sehat.” (2002:27)
Soroush
juga menegaskan bahwa dalam dinamika pemahaman keagamaan sangat
diperlukan adanya pemikiran yang bersifat kritis dan progresif.
Karenanya, keberadaan ilmu agama atau pemahaman agama harus diposisikan
sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan relatif
karena masalah-masalah zaman dan kebutuhan manusia tidaklah baku, tapi
berubah dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Apabila agama
tersebut ingin tetap ada, maka agama sebagai doktrin atau ajaran berupa
nash-nash itu harus mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan
yang dihadapi umat manusia serta menjadi solusi ditiap zamannya.
Pada
konteks inilah penfasiran terhadap nash-nash agama dan ijtihad harus
selalu dilakukan para pemuka agama; sehingga keberadaan agama itu
sendiri akan selalu aktual dan mampu menjadi solusi bagi kehidupan
manusia. Seperti halnya ilmu biologi, fisika, kimia, astronomi, dan
politik, senantiasa mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Mengapa
demikian? Soroush menjawab: ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah
bersifat sempurna ataupun berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat
dengan budaya yang senantiasa berubah. Sehingga pemahaman keagamaan
mutlak untuk dikembangkan dan disempurnakan; karena dengan aktivitas itu
merupakan salah satu bentuk usaha yang dapat membangkitkan kemajuan
umat beragama atau peradaban Islam.
Karena pemikirannya yang
bersifat kritis dan sekuler, wajar bila Soroush disebut sebagai Muslim
liberal. Ia dijuluki demikian karena menempatkan agama terpisah dari
politik dan menentang otoritas kelembagaan agama, khususnya di Iran. Itu
sebabnya di Barat Soroush disebut ‘Luther Islam’. Seperti yang
dilakukan teolog Martin Luther di Jerman yang mendobrak otoritas tunggal
para Bapa Gereja, Soroush pun menggugat sistem ‘wilayah faqih’ yang
memberikan wewenang tunggal kepada ulama. Menurutnya, konsep wilayah
faqih yang memberikan otoritas penuh kepada ulama merupakan peniruan
dari ajaran Kristen yang memberikan hak penuh kepada para Bapa Gereja.
Karena itu, Soroush berpendapat bahwa menjadi sekuler asal tidak taqlid
adalah sikap yang baik, apalagi bila diimbangi dengan budaya kritis.
“Menjadi
sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Saya menjadi bagian dari
sekularisasi justru karena ingin menyelamatkan agama dari sekularisasi
itu sendiri,” ujarnya. (2002:79-86)
Jadi, menurut Soroush,
sekularisasi merupakan perangkat yang bisa menyelamatkan ajaran agama
untuk kesejahteraan umat manusia. Jika tidak ada sekularisasi,
eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan
berpikir, keterbukaan wacana, dan kemajuan ilmu pengetahuan. Dari
sinilah muncul pemikiran tentang perlunya melakukan ‘pemisahan’ antara
wilayah agama (keyakinan) dengan politik (negara), antara dimensi
transenden (sakral) dengan yang imanen (profan).
Dari sinilah
Soroush mencetuskan teori penyusutan dan pengembangan agama—sebagai
metodologi—dan menggulirkan konsep pemerintahan demokrasi agama
(democratic religious government). Konsep pemerintahan demokrasi agama
yang digagas Soroush ini berupaya untuk menyelaraskan kepuasan rakyat
dengan restu Tuhan, menyeimbangkan urusan agama dan non-agama, dan
berbuat yang benar terhadap rakyat maupun Tuhan dengan mengakui
integritas manusia dengan agama. Artinya, untuk mewujudkan pemerintahan
demokrasi agama memerlukan suatu kombinasi antara nalar (aql) dan wahyu
(syari`), penghormatan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia, dan
memberikan kebebasan (bagi masyarakat) dalam menjalankan agama.
Dalam
teori penyusutan dan pengembangan agama, Soroush mengajukan tiga
prinsip. Pertama, prinsip koherensi (keterpaduan) dan korespondensi.
Pemahaman agama merupakan hasil interpretasi atas nash yang merupakan
produk pemikiran manusia dan dipengaruhi aspek-aspek internal dan
eksternal dalam menafsirkannya itu. Kedua, prinsip interpenetrasi. Yakni
penyempitan atau perluasan di dalam sistem pengetahuan manusia
melahirkan pemahaman agama. Ketiga, prinsip evolusi. Sistem pengetahuan
manusia itu mengalami perluasan dan penyimpitan (dinamika pemikiran).
Soroush
pun menggunakan pendekatan disiplin ilmu-ilmu modern (filsafat,
sosiologi, politik, ekonomi, etika, dll) dengan disertai ijtihad pribadi
dalam mempraktikan teorinya itu. Dengan ilmu-ilmu modern ini, kata
Soroush, agama akan mampu menjawab tantangan dan persoalan-persoalan
aktual yang dihadapi masyarakat. Dengan melakukan interpretasi terhadap
nash-nash agama menjadi jelas bahwa agama merupakan doktrin yang
memberikan pemahaman atau penjelasan tentang Tuhan dan
perintah-perintahnya. Pemahaman orang terhadap agama inilah yang disebut
ilmu agama. Kedudukan ilmu agama tidak sakral karena produk pemikiran
manusia; yang berbeda dengan agama itu sendiri. Agama merupakan produk
Tuhan, bersifat abadi dan sakral. Sedangkan ilmu agama atau pemahaman
agama senantiasa berubah, terbuka peluang kritik, menyusut/menyimpit dan
mengembang; sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dan konteks
zaman.
Jika Anda bertanya, apa yang kita dapatkan dari gagasan
dan pemikiran-pemikiran cendekiawan Muslim liberal ini? Saya tidak bisa
menjawabnya. Namun, sekadar gambaran, saya kutipkan di bawah ini sebuah
rangkuman dari seorang aktivis The Indonesian Institute, Jeffrie
Geovanie.
Pertama, dari Soroush kita dapat belajar bagaimana
‘mendamaikan’ Islam dan demokrasi. Islam memang bermakna ‘berserah
diri’, namun tidak harus mengorbankan kebebasan. Iman yang dipeluk dalam
tekanan dan ancaman, bukanlah iman yang benar. Beriman secara benar,
harus disertai dengan semangat kebebasan. Kebebasan, termasuk kebebasan
dalam beriman, adalah fondasi utama demokrasi.
Kedua, Soroush
berhasil menyerasikan kebebasan dengan nalar-rasional. Menurut Soroush,
kebebasan adalah kepunyaan manusia yang rasional. Karena itu,
orang-orang yang menobatkan kebebasan sebagai musuh utama kebenaran,
pada dasarnya tidak menyadari bahwa kebebasan adalah kebenaran (haq).
Manifestasi kebenaran dapat memperkluat kebebasan dan melemahkan
kepalsuan karena dunia ini adalah pasar bebas tempat berbagai ide
bertukar.
Ketiga, kita belajar dari Soroush tentang membedakan
‘Islam’ dan ‘penafsiran terhadap Islam’. Islam—terutama teks-teks
sucinya—tentu bersifat tetap dan tak berubah. Namun, perlu diingat,
pemahaman dan penafsiran manusia terhadap Islam dan teks-teks sucinya
tidaklah bersifat tetap, dan karena itu selalu berubah setiap saat dan
terus berkembang sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Karena itu,
tak ada satu pun pemahaman dan penafsiran terhadap Islam yang bersifat
absolut atau sakral.
AHMAD SAHIDIN, alumni Jurusan Sejarah
dan Peradaban Islam Fakultas IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pernah
aktif di Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN SGD Bandung.