Minggu, 05 Februari 2017

Tasawuf Mempertemukan Sunni dan Syiah

Dr Ajid Thohir dalam perkuliahan di Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung pernah menyampaikan bahwa pertemuan Sunni dan Syiah terwujud pada tasawuf.

Dalam tasawuf, terdapat silsilah keilmuan dan guru yang berantai hingga kepada Rasulullah saw dan Allah. Setiap mata rantai guru sufi menyambung kepada para Imam Syiah seperti Imam Ali Ridha kemudian kepada Imam Musa Kazhim, Imam Jafar Shadiq, Imam Muhammad Baqir, Imam Zainal Abidin, Imam Husain, Imam Hasan, dan Imam Ali bin Abi Thalib ra.

Salah satu tarekat yang jalur gurunya kepada sahabat (Abu Bakar ra) hanya Naqsyabandiyah. Hampir semua tarekat sufi yang mu’tabarah secara keilmuan dan silsilah keguruan menyambung kepada Imam Ali kemudian Rasulullah saw (Siti Maryam, Damai Dalam Budaya: Integrasi Tradisi Syiah dalam Komunitas Ahlussunah Waljamaah di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang & Kementerian Agama RI, 2012; halaman 174-184).

Kaum sufi dalam laku tasawuf mementingkan ibadah dan etika. Semua perselisihan dihindari dan dikembalikan pada setiap individu yang menempuh jalan ibadah. Bahkan, ada tarekat yang cukup dengan mengikuti mursyid tanpa perlu meninjau kebenarannya. Kepatuhan dan kerelaan untuk mengikuti jalur ibadah adalah kunci dari seorang sufi sehingga peluang untuk konflik tidak muncul. Karena dasar cinta Ilahi dan cinta Rasul-Nya membuat seorang sufi tidak memberi peluang untuk tumbuhnya rasa benci di antara sesama manusia.

Azyumardi Azra dalam makalah Pandangan Akademis tentang Syiah (dalam Majelis Pengajian Ahad, 3 Juni 2001 di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta) menyatakan dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni. Tasawuf falsafi dan amali, dalam sejarah dikembangkan oleh ulama-ulama Syiah dan Sunni. Ayatullah Khomeini menulis komentar mengenai kitab karya Ibnu Arabi yang berjudul Fushusul Hikam. Ibnu Arabi dalam fiqih mengikuti mazhab Maliki. Ajaran tasawufnya dipelajari oleh Khomeini.

Kaum Syiah juga ada yang mempelajari secara khusus syair-syair Jalaluddin Rummi yang merupakan tokoh sufi. Orang Syiah yang memfokuskan dalam tasawuf amali mengambil ajaran dari Abu Hamid Al-Ghazali. Bahkan, Abu Hamid Al-Ghazali dan Ibnu Arabi sendiri mengambil hadis dan hikmah dari Ahlulbait, khususnya Imam Ali ra dan Ali Zainal Abidin.

Masalah yang berkaitan dengan ikhtilaf agama baru muncul ketika masuk dalam pembahasan fiqih, teologi, dan politik. Jika seorang penempuh jalan ruhani (sufi) mencoba masuk pada persoalan yang bukan tasawuf pasti akan mengalami benturan. Selama mengurusi yang berkaitan dengan ibadah dan peningkatan kualitas spiritual maka tidak akan terjadi benturan mazhab.

Tasawuf secara lahiriah menekankan perilaku mulia (akhlaq) dan peningkatan ibadah. Meski dikecam golongan anti sosial, tetapi pada prakteknya kaum sufi banyak menyumbangkan khazanah peradaban Islam. Kaum sufi dengan perilaku saleh dan rajin dalam ibadah dianggap perekat persaudaraan di tengah umat Islam. Dari kaum sufi ini nilai teladan dan perdamaian bisa diambil untuk merajut ukhuwah Islamiyyah.

Dalam tasawuf, seorang penempuh jalan ruhani dalam mengambil teladan tidak dari sembarang orang. Dalam keteladan memerlukan model dan yang utama adalah Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw maka model yang layak diteladani adalah orang yang terdekat dan pewaris ilmunya.

Berdasarkan hadis bahwa Nabi sebagai kota ilmu dan pintunya adalah Imam Ali bin Abi Thalib ra. Maka dengan hadis ini tidak bisa dilepaskan begitu saja kedudukan Ahlulbait dalam tasawuf, khususnya dalam keteladanan dan pencerahan (hikmah).

Hal yang lainnya, sejumlah hadis dari para Imam Syiah menyebutkan kriteria akhlaq sebagai ukuran kemuliaan, perkhidmatan pada kaum mustadhafin, dan amaliah ibadah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ciri seorang pemeluk mazhab syiah yang ideal. Karenanya agak sulit seseorang untuk berani klaim dirinya seorang Syiah jika melihat standar dari hadis-hadis.

Kualitas amal shalih dan kriteria akhlaq mulia pula menjadi standar seorang penganut Ahlussunnah jika melihat dari hadis-hadis. Dan sebagaimana diketahui dalam tasawuf atau perilaku kaum tarekat bahwa akhlaq dan amal shaleh menjadi bukti yang menunjukkan seseorang bisa disebut kaum sufi.

Karena itu, tidak dipungkiri dalam tasawuf kaum Muslimin Syiah diterima keberadaannya dan terlihat dalam sejumlah ritual seperti tasawul, zikir, shalawat, ziarah kubur, dan lainnya. Maka tidak menjadi persoalan bagi kaum sufi dengan keberadaan kaum Muslim Syiah.

Memang tidak dipungkiri ada segelintir orang Islam yang tidak peduli tasawuf, bahkan dianggap tidak punya dasar dalam sumber agama Islam. Tentu ini persoalan tentang keengganan seseorang dalam membaca, menggali, dan mencerna hingga memahami khazanah tasawuf.

Dengan demikian, perilaku sufi dan memahami khazanah Islam dengan komprehensif bisa mengurangi ikhtilaf yang dikarenakan ketidaktahuan khazanah ilmu-ilmu Islam. Siapa pun dan apa pun keyakinannya, mari belajar memahami kembali khazanah Islam agar sampai pada persatuan dan kesatuan untuk perdamaian bangsa Indonesia.

(Ahmad Sahidin)