Barangkali bisa menambah
ilmu keislaman. Saya ingin berbagi saja tentang wacana Sunni dan Syiah dalam
khazanah ilmu-ilmu Islam. Yang saya ketahui bahwa perbedaan Sunni dan Syiah hanya soal jalur hadis semata. Kaum Muslim Syiah
(atau pengikut Ahlulbait) meyakini hanya sunnah dan hadis Nabi yang berasal dari
keluarga Nabi dan sahabat tepercaya yang layak dijadikan pedoman. Mazhab
Ahlulbait selektif dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Tidak semua sahabat
Nabi dianggap saleh dan adil. Karena itu, riwayat-riwayatnya tidak sembarang
diterima. Meski memang tidak dipungkiri dalam sejumlah kitab hadis masih ada
yang harus dikaji secara kritis.
Sementara mazhab Sunni (atau pengikut Ahlus Sunnah) tidak
membatasinya. Riwayat dari para sahabat dan istri-istri Nabi serta orang-orang
yang baru memeluk Islam setelah penaklukkan Makkah atau menjelang wafat Nabi
pun diakuinya. Bahkan, hadis yang berasal dari orang-orang yang pernah menjadi
musuh Islam atau orang-orang yang memerangi keluarga Nabi (Ahlulbait) setelah wafat Rasulullah saw pun
diambil sebagai rujukan.
Mazhab Syiah menentukan pemimpin berdasarkan nash dan para ulama hanya merujuk kepada Imam
Ahlulbait. Memang soal menentukan Imam yang kelima terjadi perbedaan di antara
pengikut Syiah. Ada yang menyatakan bahwa yang berhak melanjutkan adalah Imam
Zaid bin Ali bin Husain bin Ali; yang kemudian melahirkan Syiah Zaidiyah. Ada
juga yang menyatakan (sesuai hadis) bahwa Imam Muhammad Baqir (saudara Imam Zaid)
bin Ali bin Husain bin Ali; yang melahirkan Syiah Imamiyah.
Kemudian dalam penentuan
Imam ketujuh juga terjadi beda pendapat. Ada yang menyatakan putra Imam Jafar
Ash-Shadiq yang bernama Imam Ismail yang berhak menjadi Imam; yang kemudian
melahirkan melahirkan Syiah Ismailiyah. Sementara kalangan pengikut Syiah
Imamiyah meyakini bahwa yang berhak memegang otoritas imamah setelah Imam Jafar
Shadiq (Imam ke-6) adalah Imam Musa Al-Kazhim yang dilanjutkan keturunannya
sampai Imam Mahdi Al-Muntazhar (yang secara seluruhnya berjumlah 12 Imam).
Meski berbeda, dalam
ushuluddin (dasar-dasar agama) ketiga firqah Syiah sama dan tidak mengakibatkan
perpecahan yang mengakibatkan noda hitam sejarah malah memunculkan khazanah
intelektual yang beragam dan dinamis.
Dalam urusan fikih, mazhab
Syiah mengambil sumbernya–selain Quran dan hadis Rasulullah wa ‘A’immah
Ahlulbait–adalah berasal dari Imam Jafar Shadiq (guru dari para imam mazhab
fikih mazhab Sunni yang empat). Kemudian setelah ghaib Imam ke-12, urusan fikih
merujuk dari ulama (mujtahid) yang disebut marja taqlid. Tidak sembarang ulama
boleh menjadi marja. Ada standar keilmuan yang sudah ditentukan berdasarkan
hadis atau riwayat dari para Imam Syiah Imamiyah. Marja adalah seorang mujtahid
yang telah memenuhi syarat-syarat marja’iyyah: mujtahid, adil, wara’ dalam
agama Allah, tidak rakus dengan dunia kedudukan dan harta. Dalam hadis
disebutkan, “Barangsiapa di antara para fuqaha (mujtahid) terdapat seorang
faqih yang mengawasi dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya
dan menaati perintah Allah, maka orang-orang awam wajib mentaqlidinya” (kitab
Tahrir al-Washilah, hal.3 jil.I).
Di antara mazhab-mazhab
yang ada dalam Islam, perpecahan yang lebih tampak dan menjadi masalah di umat
Islam adalah terdapat pada Ahlussunah. Dalam mazhab ini lahir beberapa aliran
teologi seperti Khawarij, Mutazilah, Maturidiyah, Jabariyah, Qadariyah,
Asyariah, dan Wahabiyah. Bahkan di antara para tokohnya tidak jarang saling
menyerang dan menyalahkan, bahkan ada yang menganggap yang tidak sepaham
dengannya disebut murtad atau kafir.
Juga dalam fikih Sunni
terdapat fikih Hanafiyah, Hanbaliyah, Malikiyah, Syafiiyah, Taimiyah, Baziyah,
Baniyah, dan Qardhawiyah. Kemudian pada hadis yang disusun para ulama Sunni
terdapat perbedaan dalam menentukan otentik atau shahih tidaknya sebuah
riwayat.
Dalam politik Sunni tidak
memiliki kejelasan dalam menentukan seorang pemimpin: syura (dipraktikan saat
mengangkat Abu Bakar), wasiat (saat mengangkat Umar bin Khaththab), sidang
terbatas dewan formatur (saat memilih Utsman bin Affan), aklamasi (saat memilih
Ali bin Abi Thalib), tahkim (saat mengangkat Muawiyah), dan turun temurun atau
monarki (Dinasti Umayyah, Abbasiyah, Umayyah Spanyol, Usmaniyah, dan lainnya).
Demikian perbedaan Sunni
dan Syiah. Kalau melihat sejarah akan kaget bahwa perpecahan umat Islam hingga
sekarang lebih karena alasan politik ketimbang pemahaman agama. Sejarah
menorehkan tinta berkaitan dengan aliran dan kelompok yang lahir, baik itu
akidah (teologi), filsafat, fikih, tarekat (sufi), tafsir, dan lainnya.
Bahkan, pada masa modern
ini partai politik yang mengaku berazas Islam banyak bermunculan di Indonesia
maupun negeri-negeri yang dihuni umat Islam. Di Indonesia muncul Syarikat
Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Darul
Islam, Al-Irsyad, Persatuan Umat Islam, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia
(IJABI), Ahlul Bait Indonesia (ABI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan lainnya.
Kalau dikaji secara jeli
akan terlihat perbedaan di antara ormas tersebut. Bisa jadi dalam rujukan
pelaksanaan ibadah pun berbeda. NU dan Muhammadiyah mengaku bermazhab
Ahlussunnah, tetapi keduanya berbeda dalam pemahaman akidah dan pelaksanaan
syariah serta pandangan politik. Namun dari keduanya, ada yang sama bahwa Allah
sebagai Tuhan dan Muhammad saw sebagai Rasul Allah yang terakhir serta mengaku
berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah.
Umat Islam sekarang tidak perlu lagi mengorek perbedaan di antara umat Islam. Biarlah perbedaan
mazhab menjadi khazanah yang dikaji dalam lingkungan
akademis dengan tinjauan ilmiah. Sekarang ini yang perlu dilakukan umat Islam
adalah mewujudkan ukhuwah Islamiyah di antara sesama umat Islam. Melek politik
dan ekonomi global sangat penting untuk dijadikan sebagai agenda program
pencerdasan dan pencerahan umat Islam kontemporer. Kalau tidak paham dengan
fenomena global dan masalah yang terjadi, maka umat Islam tidak akan sadar jika dirinya sedang terancam. *** (ahmad sahidin)