Rabu, 03 Agustus 2016

Meraih Cinta Ilahi

Jalaluddin Rakhmat dalam buku Meraih Cinta Ilahi menyatakan bahwa Allah memelihara manusia bukan hanya dengan kebahagiaan atau kegembiraan, tapi juga dengan penderitaan dan kesedihan. 

Tujuannya adalah agar kita lebih sadar dan berupaya mencapai kesempunaan. Artinya, bahwa dengan musibah sebenarnya kita sedang dituntut untuk peka dan peduli sekaligus berikhtiar melakukan pemeliharaan kehidupan manusia dan alam dengan sebaik-baiknya. 

Pada konteks ini Allah percaya bahwa manusia sanggup memikul perintah dan larangan-Nya; karena telah diberikan potensi-potensi (akal, hati dan indera) dan kesiapan untuk menerima segala yang ada dan melekat pada dirinya (taklifi). Artinya, dalam kehidupan di dunia ini manusia merupakan khalifah yang harus hidup berdasarkan peran dan tugasnya serta siap bertanggungjawab atas akibat yang akan diterimanya. Dan kita harus mulai introspeksi bahwa fenomena tersebut merupakan teguran dari Allah atas kelalaian terhadap saudara kita dan terhadap perintah maupun larangan-Nya.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah; supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS Al-Hadiid [57] : 22-23).

Ayat  di atas begitu menyentak hati karena berkaitan dengan pelbagai bencana yang hadir di negeri ini. Mungkin ini sebuah ketentuan ilahiyah. Artinya, semua hal yang berkaitan dengan manusia, alam, dunia, dan makhluk-makhluk lain tidaklah paripurna. Sebab ada Yang Mahasempurna, laisya kamislihi syaiu`n—Allah itu tidak ada bandingannya alias tidak sama dengan ciptaan-Nya. Dialah pemegang semua ketentuan dan kejadian semua ciptaan dan makhluk-Nya. Inilah kekuasaan Allah. 

Inilah yang menyadarkan kita bahwa manusia itu tidak ada apa-apanya. Manusia dan kehebatannya, tidaklah mampu melawan ketentuan Yang Mahadahsyat, Allah SWT.  Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna—meskipun prencanaan dan antisipasi telah dilakukan sebelumnya. Rencana Allah lebih hebat dan luar biasa dari kehendak makhluk-Nya. 

Bukankah dengan seringnya tubuh kita begerak, darah dan otot-otot kita tidak kaku dan tidak membeku? Bukankah dengan seringnya derita menimpa, diri kita akan semakin tangguh dan kebal hingga lebih siap menghadapi pelbagai cobaan yang menghadang kita? Dan apabila ini pelipur lara, anggaplah begitu. Setidaknya untuk menjadi bahan introspeksi (muhasabah), bahwa negeri ini butuh perbaikan-perbaikan. Dan kita harus memulainya. 

Seperti kata KH Abdullah Gymnastiar, mulai dari diri kita, mulai dari yang terkecil, dan mulai dari saat ini (3 M). Camkan ini, bila kita masih menganggap diri sebagai manusia—boleh jadi engkau tak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu (QS Al-Baqarah [2] : 216).

(AHMAD SAHIDIN)