Kisah ini terdapat dalam riwayat Bukhari. Suatu hari Nabi Muhammad saw mendatangi rumah istri seorang sahabat tanpa ada sahabat di dalamnya.
Terjadilah perbincangan antara Nabi dan istri sahabat itu. Lalu, kepala Nabi bersandar pada pangkuan istri sahabat dan diseliksik dicarikan kutu yang ada di kepala Nabi. Setelah itu Nabi terbangun dengan wajah ceria.
Saya tidak percaya dengan kisah ini. Hanya saja disebutkan dari
Bukhari. Umat Islam mengenalnya sebagai “kitab suci” setelah Al-Quran yang
harus diakui kebenarannya. Kalau melihat isinya, tentu menunjukkan sesuatu yang
tidak berlandaskan akhlak.
Dalam hadis yang beredar di kalangan mazhab Wahabi, disebutkan
bila seseorang ingin menjadi muhrim harus disusukan lima kali. Ini merujuk pada
Salim, pembantu laki-laki yang disusui oleh saudaranya Aisyah karena setiap
hari ada di rumah. Supaya muhrim maka disusukan lima. Kabarnya Salim itu sudah
berjenggot, yang berarti lelaki dewasa.
Di Mesir ada Dr. Izzat yang membolehkan laki-laki dan perempuan berada
dalam satu ruangan kantor dengan terlebih dahulu disusukan lima kali. Tentunya
pada perempuan yang ada di dalam ruangan supaya menjadi muhrim. Setelah itu
menjadi muhrim dan tidak perlu menggunakan jilbab lagi.
Kebayang bagi saya yang laki-laki normal. Tentu yang di kantor
biasanya perempuan dewasa. Kalau di Indonesia berlaku fatwa demikian, saya
ingin yang pertama mengantri untuk dapatkan kesahahan supaya menjadi muhrim. Dan,
saya bisa pindah-pindah tempat kerja. Tentu yang banyak perempuannya. Kalau ini
berlaku di Indonesia pasti akan disenangi kaum lelaki, terutama bos dan
pimpinan perusahaan.
Jika diukur dengan akal sehat tentu fatwa demikian, sanajan aya
dina hadis henteu sapagodos sareng nilai-nilai Islam. Karena itu, sesuai dengan
studi kritik historis, bahwa hadis yang menyuruh untuk menyusui dengan lima kali
susuan itu harus ditolak. Kemudian riwayat Bukhari yang menyebutkan perbuatan
Nabi bertamu kemudian berinteraksi dengan istri orang lain harus ditolak pula.
Sadarilah bahwa mendatangi perempuan yang bukan istrinya dan
tidur dipangkuan istri orang, bukan termasuk akhlak Nabi. Begitu pun kepala
Nabi berkutu, menunjukkan Nabi tidak menjaga kebersihan. Al-Quran menerangkan
bahwa Nabi Muhammad saw berakhlak mulia, terpuji, bersih, dan suci. Hadis di
atas bertentangan dengan informasi Al-Quran dan merendahkan kemuliaan
Rasulullah saw. Karena itu, riwayat dan sejarah tersebut perlu dikaji secara
kritis.