Ada sebuah nasihat: prestasi dan sukses tidak bisa diraih begitu saja
jika tidak mengetahui ilmunya. Termasuk dalam urusan kerja, misalnya bagian
listrik. Jika tidak tahu bagian instalasi dan aksesoris lisrik, dan penggunaan
alat-alatnya, pasti jika coba-coba mengotak-atik sendiri tanpa memiliki ilmunya
pasti tidak bisa benerin kerusakan listrik. Juga dalam urusan editing, jika tak
tahu tatabahasa dan tidak memiliki ilmu editing, bukannya buku tersebut bagus
dan enak dibaca, bisa-bisa banyak yang hilang substansi dan tambah jlimet
bacanya. Begitu juga dalam urusan ibadah, pasti harus ada ilmunya.
Jika tidak memungkinkan datang, tentu kita bisa melihat dan membaca buku-buku tentang persoalan yang kita ingin pecahkan, tapi bersifat ringkas dan padat. Tentunya kita harus memiliki atau menyediakannya di rumah atau kantor. Jadi, jika pas ada masalah, langsung buka. Jika masih ada masalah, rujuk buku lainnya. Jika tetap muncul lagi masalah, datanglah ke pakarnya. Itu trik saya.
Bukankah termasuk bid`ah perbuatan seorang Muslim/Muslimah yang
melakukan/melaksanakan ibadahnya tanpa dalil-dalil agama? Untuk mengtahui
dalilnya, tentu saja harus membaca kitab-kitab fikih yang berjilid-jilid dan
bertanya pada ahlinya. Dan tidak setiap orang, yang berada di sekitar kita itu
punya kafasitas dalam urusan fikih. Setiap orang punya kafa`ah (spesialisasi)
yang berbeda. Bagaimana jika kita sedang membutuhkan pengetahuan dan tidak ada
yang bisa menjawab; berarti harus datang ke ahlinya.
Jika tidak memungkinkan datang, tentu kita bisa melihat dan membaca buku-buku tentang persoalan yang kita ingin pecahkan, tapi bersifat ringkas dan padat. Tentunya kita harus memiliki atau menyediakannya di rumah atau kantor. Jadi, jika pas ada masalah, langsung buka. Jika masih ada masalah, rujuk buku lainnya. Jika tetap muncul lagi masalah, datanglah ke pakarnya. Itu trik saya.
Mekipun sudah datang ke pakarnya, tapi tetap saja saya bermasalah dalam
urusan shalat. Dari mulai menguap, tidak konsentrasi, lupa bacaan dan lupa
jumlah rakaat, pikiran melayang, dan lainnya. Itu masalah-masalah yang saya
alami dalam setiap shalat.
“Itu mah tidak khusyuk,” kata seorang ustadz. Dan, diberilah saya
beberapa tips agar bisa khusyuk. Ajaib, satu jam dikasih tahu, bukannya khusyuk
malah terganggu dengan ujaran dan nasihat si ustadz tadi. Karena tidak
berhasil, saya datang ke ustadz lain. Ustadz yang satu ini tidak memberikan
tips, malah bilang bahwa ia sendiri sama tidak bisa khusyuk. “Saya juga sama,
masih belajar. Baca buku dan shalatlah terus!” pesannya.
Saya pun baca buku. Pinjam sana sini. Beberapa buku sudah dilahap. Tapi
tetap saja shalat saya masih bermasalah. Dari satu bacaan ke bacaan buku
lainnya umumnya sama.
Namun, alhamdulillah, pada pertengahan Desember 2008 diberi kesempatan
membaca sebuah naskah pra-cetak yang berjudul Shalat T.O.P karya Drs. H.
Fatikhin dan H. Muhammad Saifudin, yang diterbitkan Penerbit Salamadani
Bandung, Februari 2009.
Setelah saya melihat-lihat isinya, ternyata sedikit berbeda dengan buku
yang sudah saya baca. Buku ini isinya terbagi dalam lima bagian. Pertama adalah
membahas tentang arti shalat dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya; kedua
adalah tentang tata cara pelaksanaan shalat seperti pra-pelaksanaan, ketika
melaksanakan, pascapelaksanaan; ketiga adalah menguraikan tentang khusyuk atau substansi shalat; keempat adalah kemudahan-kemudahan dalam shalat;
dan kelima adalah membahas hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam
dalam ibadah shalat.
Tiga bagian terakhir dari buku ini saya anggap cukup menarik dan jarang
ada yang membahasnya, seperti shalat sambil gendong bayi, matiin kompor, sambil
baca dan megang mushaf Quran, cara mematikan HP yang berdering saat shalat,
atau cara menjawab salam tamu yang datang, serta lainnya. Hukum dan praktiknya
dibahas dalam buku Shalat T.O.P.
Mengapa jarang? Karena bila melihat buku-buku fikih, baik itu terjemahan dari Timur Tengah maupun
yang ditulis penulis lokal (Indonesia), kebanyakan hanya mengulas
pendapat-pendapat imam mazhab fikih dan dalil-dalil yang berhubungan dengan
gerakan dan bacaan shalat. Mungkin di sini bedanya dengan buku-buku shalat
lainnya: menyajikan aspek dzahir dan batin shalat. Saya kira ini keunggulannya;
karena sangat jarang yang menyajikan dua sisi tersebut dalam satu buku yang
tidak tebal dan bahasa yang mudah dicerna.
Keunggulan lainnya: di dalamnya dilengkapi dengan gambar-gambar praktik
gerakan shalat sehingga Anda yang ragu-ragu, sudah atau tidaknya shalat, bisa
merujuk ke gambar tersebut. Juga berisi tips-tips khusyuk dan pilihan bacaan
shalat yang pendek dan mudah diingat.
Saya kira—seperti saya yang banyak mendapat masalah dalam ibadah
shalat—sangat terbantu dan sekaligus jadi pemandu dalam menegakkan shalat.
Harus diakui, setelah baca buku itu, entah dari mana datangnya ada sebuah
dorongan kuat untuk terus meraih hakikat shalat dan mendapatkan ketenangan
dalam shalat. Hingga sekarang, dorongan tersebut terus menggebu—meski memang
harus saya akui shalat saya belum mencapai tahap seperti para wali, sahabat dan
Rasulullah saw.
Buku ibadah seperti ini sebaiknya kita miliki. Meskipun sudah punya
buku shalat yang lain, tapi tak salah jika Anda memiliki buku sebagai
pembanding dan penyempurna dari buku-buku shalat lainnya. Membeli buku,
nilainya sangat berbeda dengan beli sepatu. Satu tahun atau dua tahun, sepatu
akan mengalami rusak.
Apabila sudah rusak pasti harus dibuang dan beli lagi. Tapi
untuk buku ibadah, meskipun kita sudah wafat, pasti akan sangat berguna
diwariskan ke anak cucu kita. Beda dengan buku pelajaran dan buku teknologi
serta buku-buku teoritis lainnya, tiap tahun pasti harus berganti menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.*** (ahmad sahidin)