Selasa, 30 Maret 2021

Baju Merepresentasikan Identitas

Dahulu saya pernah dengar seorang ustadz bilang bahwa baju yang dipakai merepresentasikan identitas. Bahkan hanya dengan baju, seseorang bisa memposisikan dirinya. Contohnya saat seorang memakai pakaian khas santri yang lengkap pasti tidak akan berada pada lokasi yang bertentangan dengan ajaran agama. Kalau datang ke pengajian pasti menyesuaikan pakaian. Jarang ditemukan orang yang mengenakan pakaian khas santri lengkap (kopiah, serban, baju koko, sarung, sandal kulit, bawa tasbeh, dan mendekap Alquran) berada di lokasi diskotek maupun tempat asusila. Orang yang memakainya akan menghindar dari tempat tersebut saat berpakaian tersebut.

Dalam suatu kegiatan, seseorang bilang kepada saya: hebat datangnya paling duluan. Ini terkait dengan kegiatan rutin tadarus Alquran. Dan ia tanya mengapa yang lainnya tidak ikut tadarus? 

Saya hanya bilang bahwa ikut tadarus Al-Quran bukan karena rajin, tetapi karena pada diri saya melekat label pengajar agama, sehingga saya paksakan diri untuk hadir. Saya hadir karena malu dengan baju yang saya pakai. Maksud baju dalam hal ini, yaitu label yang melekat pada diri saya karena diamanahi mengajar terkait dengan agama dan agar nyambung (relevan) dengan peran yang saya jalani. Kalau di rumah, saya orang yang malas membaca Al-Quran dan selalu telat shalat fardhu. 

Ini sekadar bahan renungan. Dalam satu pekan berapa kali menghadirkan Al-Quran di rumah? Dalam sehari berapa kali mata ini dipakai menatap ayat Alquran? Bandingkan dengan waktu yang dihabiskan untuk nonton atau memainkan games saat jam kerja. 

Bandingkan waktu ngobrol dengan waktu untuk ngaji Al-Quran. Mungkin juga banyak waktu yang habis tidak dipakai produktivitas kerja. Karena itu, saya berusaha untuk mengefektifkan waktu dan berusaha produktif. Harus maksimal kerja karena bebannya sama dengan yang full hari kerja. Sebab hitungannya pada jumlah hari bukan pada produktivitas dan efektivitas atau beban. 

Sekadar bercerita. Di sebuah lembaga besar di daerah Ledeng Bandung, aturannya luar biasa. Setiap pagi sebelum kerja sekira 45 menit diharuskan tadarus Al-Quran dan menyimak nasihat dari pimpinan. Senin sampai Jumat demikian berulang. Sekira dua sampai tiga bulan bisa khatam Al-Quran berjamaah. Kemudian shalat berjamaah untuk yang fardhu ditetapkan sebagai aturan kerja. Jadi, setiap hari dapat pahala baca Al-Quran dan pahala shalat berjamaah meski dipaksa dengan aturan. Ada quote bahwa "lebih baik dipaksa masuk surga daripada sukarela masuk neraka." Ini mungkin tidak tepat, tetapi relevan.

Lantas sambil merenung, saya hanya bergumam: agama memang tidak terkait dengan uang. Terima kasih. Mohon doanya! *** (Ahmad Sahidin)