Jumat, 03 Januari 2020

Resensi buku Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam



Saya lupa entah tahun berapa beli buku "Cita Humanisme Islam: Panorama Kebangkitan Intelektual dan Budaya Islam dan Pengaruhnya terhadap Renaisans Barat" ini? Bukunya terbit tahun 2005 oleh Serambi Jakarta. Penulisnya George A. Makdisi. Ini sebuah karya terjemah dari buku yang aslinya berjudul "The Rise of Humanism" tahun 2000. Tebal buku 600 halaman. Isinya terdiri dari tujuh bagian dan tiap bagiannya diisi empat sampai tujuh bab. 

Sekilas uraian dalam buku ini tentang ilmu adab, yang diartikan kajian sastra dan humaniora dalam khazanah sejarah umat Islam sejak pascakhulafa rasyidun sampai akhir abad pertengahan. Tokoh Imam Syafii disebut sebagai peletak ushul fiqih, yang juga memiliki kemahiran dalam sastra. Juga tokoh ulama lainnya bahwa dalam sejarah diketahui mereka punya keahlian dalam bidang ilmu adab, selain ilmu-ilmu agama.Yang menarik tentang ijazah dan izin sebar pengetahuan dibuat dengan aturan yang sederhana sesuai dengan zamannya.


Apabila ada orang yang hendak menyalin atau memperbanyak buku dari seorang penulisnya, maka ia cukup mendengarkan pembacaan (dikte) dari penulis buku tersebut. Tebal tipis menentukan jumlah hari yang dihabiskan saat dibacakan. Saat beres dan tuntas maka salinan buku itu dibubuhi tanda tangan sang penulis.

Dengan itu maka seorang murid atau penyalin telah mengantongi ijazah atau izin mengajarkan isi buku tersebut. Dan sang penulis atau guru yang menulis kitab tidak sembarang menerima orang yang meminta untuk ditulis ulang ilmu yang tersaji dalam kitab.


Dari buku Cita Humanisme Islam ini, yang menarik bahwa antara ulama atau tokoh ilmu adab dan ilmu hadis serta ahli faqih terjadi konflik secara intelektual. Dalam suatu diskusi atau majelis tidak jarang terjadi debat di antara mereka. Kalau berada dalam satu tempat, tetapi beda majelis dan ruang, maka akan saling teriak saat menyindir dan melemahkan khazanah ilmu yang dianggapnya tak berguna.

Dari buku yang saya baca ini diketahui bahwa antar ilmuwan terjadi rebutan pengaruh, rebutan dominasi aliran ilmu, dan mencari kedudukan terhormat di hadapan para penguasa. Sering ditemukan dalam sejarah bahwa seorang penguasa menempatkan ahli sastra, filsuf, atau fuqaha di istana. Di antara tokoh yang ada di lingkungan istana pun rebutan pengaruh dan kedudukan. Tidak jarang saling jatuhkan dengan fitnah dan isu-isu.


Kemudian seorang ilmuwan kadang diminta menuliskan bahan bacaan untuk seorang penguasa terkait suatu ilmu. Maka ilmuwan yang ditugasi itu akan berlama-lama di perpustakaan istana yang menyimpan ribuan kitab. Ditulis dengan kecakapan sang ilmuwan sehingga menjadi sebuah kitab yang dipersembahkan khusus untuk seorang penguasa yang menugaskannya.

Selanjutnya ilmuwan atau tokoh tersebut dapat uang dan hadiah dari penguasa. Dan banyak kitab yang beredar pada abad pertengahan pada halaman awalnya ditulis bahwa kitab didedikasikan untuk seorang penguasa. Tentu dalam hal ini aspek kepentingan penguasa menjadi perhatian utama para penulis kitab.


Kini bagian empat, yaitu tentang cabang pengetahuan dalam ilmu adab atau humaniora. George Abraham Makdisi menyajikan ada tujuh cabang pengetahuan ilmu adab: tata bahasa (nahwu), puisi, balaghah (estetika bahasa), retorika (pidato), seni menulis surat (epistolografi), sejarah, dan filsafat moral (ilmu akhlaq).Untuk yang kesatu (tata bahasa) dianggap penting karena terkait dengan kecakapan dalam bicara dan menyusun kata-kata dalam berbicara. Ini terkait juga estetika bahasa dan retorika. Kalangan raja atau penguasa mempekerjakan orang yang ahli dalam ketiga pengetahuan tersebut sebagai duta atau juru bicara atau diplomasi antar penguasa, termasuk menyampaikan pesan penguasa untuk masyarakat. 

Sedangkan seni menulis surat merupakan keahlian yang mesti dimiliki oleh seorang menjabat sekretaris. Dalam aspek menulis surat ini ada tingkatan mulai dari surat dari orang yang berkedudukan rendah kepada yang tinggi kedudukannya, yang setara kedudukannya, dan untuk orang yang terhormat.

Setiap penguasa memilih orang yang ahli dalam epistolografi dan dapat gaji dari pekerjaannya. Makdisi menyebutkan banyak di antara para penulis surat ini menghimpun surat-suratnya sebagai karya sastra dan pedoman bagi yang ingin berkarier sebagai sekretaris para pejabat atau pekerja di istana.

Kemudian tentang pengetahuan sejarah sebagai cabang ilmu adab karena menyajikan informasi sekaligus para penulisnya menghimpun kisah dan peristiwa dari penguasa untuk dicatat sebagai sejarah. Pengetahuan sejarah ini meliputi akhbar (berita-berita), tarikh (penanggalan), ayyamul 'arab (peristiwa dan tradisi lisan), hauliyyat (catatan tahunan), maghazi (perang dan penaklukkan), thabaqat (biografi orang-orang penting), dan novel sejarah.

Yang terakhir ini lebih bernuasa sastra (prosa) dan terkait dengan dongeng (anekdot) untuk menumbuhkan semangat dan hiburan. Pengetahuan sejarah memang bagian dari kajian humaniora karena yang dibahas adalah manusia dalam ruang dan waktu. Dalam studi sejarah dan peradaban Islam pun banyak menguraikan perjalanan umat Islam dengan aneka kemelut dan dinamika yang menyertainya.

Sejarah tentang orang-orang yang menekuni ilmu adab, jatuh bangunnya kekuasaan dan pergantian penguasa demi penguasa, sampai kejayaan dalam ilmu pengetahuan dari zaman ke zaman masuk dalam pengetahuan sejarah. Sayangnya oleh Makdisi tentang pengetahuan sejarah tidak banyak diuraikan. Padahal, dalam kajian historiografi banyak ditemukan muarikh (sejarawan) yang berkontribusi dalam kejayaan peradaban Islam. Sangat beda dengan uraian untuk tata bahasa, puisi, dan epistolografi oleh Makdisi dikupas dengan lebih luas dan disertakan tokoh-tokohnya.


Sementara filsafat moral dalam uraian awal disebut sebagai etika dalam Islam, termasuk tasawuf. Namun, dalam uraian lebih jauh aspek etika tidak detail dibahas. Malah yang diuraikan pidato, ceramah, dan nasihat yang berkembang atau yang ditujukan untuk umat dan penguasa. Bahkan tentang tokoh mazhab yang memerankan penasihat, penceramah dan berpidato disebutkan sampai akhir lembaran pada bagian empat.

Selanjutnya, lembaran buku yang saya baca tentang masyarakat humaniora, yaitu orang-orang atau ilmuwan yang berprofesi bidang ilmu adab. Di antara aktivitas yang dijalani yang ahli ilmu adab adalah penyalin kitab, pengajar putra raja (penguasa), sekretaris, pustakawan, dan penjual buku.


Dari uraian tentang penyalin kitab ini saya sangat terkesan dengan keuletan dan kesabaran saat menulis ulang kitab yang dipesan orang lain. Tidak jarang seorang pejabat yang suka dengan ilmu meminta agar menulis beberapa kitab untuk koleksi perpustakaannya.

Ibnu Al-Khazin, Yahya bin Adi, Sulaiman Sijistani, Maytsam, Ibnu Sikkit, Muhammad Al-Bashri, Abu Mansur Muhammad bin Ahmad Al-Khazin, dan Abdul Hamid bin Yahya merupakan orang-orang yang bergiat dalam profesi bidang keahlian humaniora.

Shahib Amin Dawlah adalah perdana menteri Dinasti Ayyubiyah abad tigabelas dan kolektor buku. Pernah memesan buku sejarah karya Ibnu Asakir sekira delapan puluh jilid. Ia menyuruh sepuluh orang penyalin kitab. Setiap orang bertugas menyalin kitab delapan jilid dan seluruhnya diselesaikan dalam waktu dua tahun. Para penyalin ini diberi gaji dan fasilitas mewah sehingga fokus dalam pekerjaannya.


Aktivitas yang juga disebut profesi bidang ilmu adab lainnya adalah pendamping setia penguasa. Ia sehari-hari bersama sang tuannya. Dapat gaji besar dan fasilitas mewah. Kerjanya mirip seperti penasihat dan asisten pribadi. Profesi ini memerlukan kecakapan intelektual dan keahlian dalam komunikasi serta tata bahasa yang indah dan kosa katanya pun terpilih saat menjadi juru bicara dalam pertemuan penting kenegaraan. Dan profesi diampu oleh mereka yang punya kecakapan dalam ilmu adab. Dalam sejarah abad pertengahan Islam banyak mengisahkan orang-orang dekat dari ulama dan ilmuwan yang turut serta memengaruhi kebijakan suatu pemerintahan suatu dinasti.

Terakhir, ini saya kira penting diketahui bahwa para raja, wazir, atau khalifah yang memegang kekuasaan dinasti sebelum memimpin berada dalam bimbingan ahli humaniora, baik bahasa maupun keilmuan agama dan filsafat. Para guru ini mengajar putra raja dan kelak saat memimpin dinasti, guru ilmu adab ini diangkat sebagai penasihat dan sekretarisnya. Karena itu, wajar kalau seorang raja atau khalifah antusias dengan kajian filsafat dan menyukai diskusi rahasia dibalik kata dan bahasa serta menafsirkan simbol-simbol budaya atau teks dari suatu kitab. Zaman sekarang ini mungkin terkait dengan studi hermeneutika dan semiotika.

Dan pembacaan saya yang terakhir adalah bagian tujuh tentang Islam Klasik dan Barat Kristen. 
Bagian ini tersaji dalam lima bab meliputi asal muasal dan cikal bakal humaniora, peradaban masa renaisans Italia, institusi gerakan skolastik, metode pengajaran, dan pengajaran dalam berbagai kajian humaniora.

Uraian dari bagian tujuh ini merupakan pembahasan akhir dari buku ini, tidak fokus pada masa kejayaan Islam mengenai tumbuhnya khazanah ilmu adab (humaniora) tetapi memberikan catatan perbandingan dengan pertumbuhan kajian humaniora di Italia, Sisilia, Perancis dan Inggris.

Menurut George Makdisi bahwa di Barat tumbuh khazanah ilmu humaniora secara tidak langsung warisan dan pengaruh karya-karya (dari ulama dan ilmuwan ahli ilmu adab) yang sampai ke negeri Barat dan dialihbahasakan. Sehingga diakui bahwa umat Islam sejak abad klasik sampai pertengahan punya pengaruh dalam lahirnya kejayaan Barat dan umat Kristen dalam peradaban manusia pada masa modern.


Dari buku "Cita Humanisme Islam" ini, saya menemukan uraian tentang filsafat moral sebagai cabang pengetahuan humaniora. Filsafat moral sebagai cabang pengetahuan ilmu adab (humaniora) bermakna etika dan aturan, baik terkait dengan aktivitas maupun perkataan lisan dan tulisan. Ibnu Al-Mu'tazz dalam Kitab Al-Adab memuat tulisan pada karyanya itu berisi pepatah bijak dan ajaran-ajaran moral.


Dari Ibnu Al-Mu'tazz ini seorang George Abraham Makdisi  kemudian memperluas makna adab tentang administrasi pemerintahan dan etika politik; terkait dengan tata cara mengatur atau aturan moral yang harus diperhatikan dalam melaksanakan tugas sebagai penguasa dan pejabat negara. Karena itu, makna adab bisa dihubungkan dengan as-siyasah.


Terakhir, cukup lelah membaca buku “Cita Humanisme Islam” ini karena termasuk karya ilmiah dan huruf tulisannya kecil serta sulit dicerna. Dari buku ini saya mengetahui adanya gerakan skolastik, mazhab hukum, jenjang karier seorang ahli hukum (fuqaha), konflik aliran rasionalis versus tradisionalis, lembaga ilmiah dan pengkajian ilmu, jenis dan macam ilmu adab serta pengetahuan agama, otoritas ilmu adab dan agama.

Dari karya Makdisi ini saya mengetahui bahwa seorang ulama hadis atau ahli fikih (hukum) sebelum berkarier sebagai muhadis atau menjadi faqih (fuqaha) atau mufti, sebelumnya mempunyai keahlian dalam ilmu adab meliputi kebahasaan, sastra, filologi dan wawasan kebudayaan. Menariknya lagi bahwa para ilmuwan atau tokoh bidang ilmu adab ini sebelumnya pada masa disebutkan menekuni pelajaran dasar berupa Al-Quran. Dan memang tidak bisa diingkari bahwa seorang ulama sebelum tumbuh besar mesti memiliki kecakapan dalam Al-Quran sebagai pelajaran yang paling dasar.

Nah, itu yang bisa saya bagikan hasil baca bukunya yang dimulai pertengahan Desember 2019 dan tuntas dibaca dari halaman awal sampai akhir pada hari kedua bulan Januari 2020. Dan, sekarang lanjut buku lainnya.


Terima kasih sudah berkenan membaca ulasan buku ini. Maaf ulasannya kurang mendalam dan hanya hal-hal menarik bagi saya saja yang diceritakan dalam tulisan resensi buku ini. Buku karya George Abraham Makdisi ini sangat layak dibaca bagi yang suka dengan kajian sastra, bahasa, dan studi humaniora dalam khazanah intelektual Islam. *** (ahmad sahidin)