Ini kisah nyata sekira tahun
2016. Saya bagikan kisahnya sebagai bahan dialog dan mungkin bisa menjadi bahan
telaah dalam studi fikih kontemporer.
Seorang teman
bercerita: ia pergi ke satu daerah di Kabupaten Bandung dengan menggunakan
motor. Di tengah jalan ia lapar. Berhenti di tempat tukang jualan mie baso. Memesan satu porsi. Sambil nunggu disiapkan dan menunggu giliran, ia ngobrol
dengan tukang baso dan sampai pada obrolan tentang agama.
Tukang baso
bilang bahwa agamanya bukan Islam dan tidak memeluk agama yang resmi, tetapi
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan (dan kini sudah diakui oleh mahkamah
konstitusi).
Seketika itu
(teman saya) meminta pesanannya untuk dibungkus. Lalu bayar dan pergi. Di
tengah jalan mie baso yang dibungkus itu dibuangnya.
Saya tanya kepada
teman: kenapa dibuang? Ia bilang dalam fikih (yang diikutinya) kalau makanan
dan minuman diolah oleh yang bukan pengikut Ahlul Kitab maka tidak halal untuk
dikonsumsi oleh orang Islam. Mendengar itu, saya tersenyum dan dalam hati bergumam:
dasar fanatisme fikih. *** (ahmad sahidin)