Minggu, 19 Januari 2020

Tuhan itu Bulat!

ADA pengalaman cukup menarik ketika saya melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung, di kawasan Cilengkrang-Bandung, Mei-Juni 2003. 

Saat itu saya diberi tugas untuk memberikan pelajaran sejarah di salah satu masjid. Audiens saya hadapi adalah anak-anak SD dan SMP sehingga pelajaran yang saya berikan adalah cerita tentang nabi-nabi yang terdapat dalam Al-Quran. Saat itu saya menguraikan tentang Nabi Ibrahim, Bapak Monotheisme, yang kuat dibakar api.

Sedang asyik bercerita, tiba-tiba seorang anak bertanya: “Kak, kalau Allah itu bentuknya seperti apa?” Ditanya seperti itu saya terdiam. Bingung. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Jika saya katakan: Allah itu tidak berbentuk, tidak beranak, tidak berwujud, tidak tidur, atau Allah itu tunggal, pasti anak itu akan terus bertanya dengan kepolosannya. Namun, entah ilham darimana, saya langsung balik tanya. Anak itu dengan polosnya langsung menjawab: “Bulat”.

Mendengar pernyataan anak tersebut saya tertawa: menertawakan diri sendiri yang tidak bisa mempresentasikan “sesuatu” yang abstrak. Dalam hati saya merasa kagum terhadap anak itu. Dengan kepolosannya berani mempresentasikan sesuatu yang susah diwujudkan dalam bentuk bahasa.

Dari ungkapan anak itu timbul pertanyaan: apakah ungkapan anak itu telah menyalahi? Di sinilah letak kerumitan pembahasan tentang Tuhan. Mengapa rumit? Karena Tuhan adalah “sesuatu” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau. Namun, ketika dibahasakan akan (menjadi) terbatasi atau tersempitkan dengan bahasa itu sendiri. Dengan melakukan pembahasan terhadap “Yang Tak Terbahasakan” akan menjadi terkurung dalam bahasa yang dibentuknya. Lalu, apakah perlu dibiarkan saja ungkapan semisal anak kecil tersebut agar terhindar dari penyempitan hakikat-Nya? Ini pula yang menjadi masalah. Apabila “sesuatu” dibiarkan tanpa nama maka akan menjadi sesuatu yang asing atau tidak dikenali dan akhirnya menjadi sesuatu yang hanya diduga-duga dan kira-kira saja. Bukankah dugaan dan perkiraan adalah sesuatu yang tidak jelas? Lalu apakah “Tuhan” itu sesuatu yang remang-remang adanya? Tentu saja kita akan menjawab “tidak” dengan setumpuk dalil-dalil tekstual dan kontekstual.

Mungkin benar jika filsuf Xenophanes yang telah melakukan pengembaraan panjang di Timur Tengah, berkesimpulan bahwa simbol keagamaan (sebenarnya) dibentuk oleh makhluknya sebagai kesan dari mereka sendiri. Karena itu, seseorang yang punya kecenderungan tentang keyakinan (agama) akan membuat dan menciptakan “Tuhannya” sama seperti yang ada dan melingkupi keberadaannya.

Mengapa bisa seperti itu? Karena realitas metafisika ada di luar jangkauan lahiriah sehingga manusia tidak akan sampai untuk mengungkapnya. Kemungkinan besar hanya mampu dipahami dengan ungkapan-ungkapan analogis pikiran atau bahasa kiasan; karena dari berbagai statemen tentang adanya Tuhan tidak bisa diverifikasi dan difalsifikasi secara ilmiah maupun empiris. Di sinilah perlunya standar ganda, yaitu berpikir dengan kapasitas dan yang berdasarkan pada pengalaman kemanusiaan yang diarahkan kepada “sesuatu” yang berada di luar jangkauan nalar dan indera manusia.

Wajar jika muncul istilah-istilah seperti Allah, Hyang Widi, Yahweh, Gusti, Pangeran, Ahuramazda, Tuhan bapak, Tuhan, Bapak Adam, dan lain sebagainya; sebagai representasi dari “Yang Tak Terbahasakan” yang dibahasakan dengan istilah maupun simbol-simbol tertentu yang dianggap dapat mewakili keberadaan realitas metafisika yang abstraks tersebut.

Bahkan, Ammatoa, tokoh Komunitas Kajang di Sulawesi Selatan, dalam dialognya dengan majalah DESANTARA (Edisi 03/Tahun II/2003) berkata: “Apakah kalian menyebut nama Allah karena membaca tulisan berhuruf Arab, yang berbunyi Allah? Kalau begitu, jangan-jangan yang kalian sebut Allah, ya, tulisan itu sendiri. Lalu, apa bedanya disebut Allah Ta’ala dengan Puang Ta’ala?”

Inilah persoalan yang menimbulkan tanda tanya: kenapa dan mengapa Al-Quran dan Nabi Muhammad saw (atau Allah) sendiri, memilih istilah “Allah” sebagai realitas hakikiyah? Saya sendiri belum punya pengetahuan tentang ini. Akan tetapi, jika didekati dengan pandangan Ibnu Arabi (560-638 H./1165-1240 M.) tentang tajjali ilahiakan sedikit terjawab. Konsep tajjali ini, menurut Ibnu Arabi, merupakan keinginan dari Tuhan yang ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian Ia menciptakan alam semesta sebagai manifestasi (tajjali) atas eksistensinya dalam tiga martabat.

Kesatu, martabat ahadiyah. Pada martabat ini wujud (eksistensi) Tuhan merupakan ‘dzat-murni’ yang tunggal dan mutlak, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Tuhan tidak dapat dipahami dan disimbolkan, bahkan tidak dapat diketahui-saking tidak ada yang sederajat atau tidak ada yang sama dengan-Nya (QS Al-Hasyr: 23; Asy-Syura: 11; Thaha: 14; Al-Ikhlas: 1; Al-Baqarah: 163, 255; Ali Imran: 2, 18, 51; Al-Anbiya: 22; dan Al-Mu’minun: 116).

Kedua, martabat wahidiyah, yaitu penampakkan (tajalli) pertama dan paling suci; atau manifestasi dzat pada sifat dan asma (nama)-Nya. Dengan tajalli ini dzat tersebut dinamakan Allah sebagai pengumpul dan pengikat sifat-sifat dan asma-asma-Nya (QS Thaha: 8; Al-A’raaf: 180; Al-Isra: 110; dan Al-Hasyr: 23).

Ketiga, martabat (tajjali) syuhudiyah, yaitu limpahan suci dari martabatwahidiyah. Pada martabat ini Allah memanifestasikan diri-Nya melalui asma dan sifat-Nya dalam bentuk kenyataan faktual (semesta) berupa aneka ciptaan-Nya. Semua ciptaan termasuk manusia dan alam semesta beserta isinya adalah wadah (mazhar) dan semuanya (yang dicipta Allah) bergantung kepada-Nya. Artinya, selama masih ada Tuhan dan masih berkehendak maka alam semesta dan aneka ciptaan-Nya akan tetap ada.

Menurut Ibnu Arabi, tajalli ilahi yang paling sempurna adalah diciptakannya manusia dengan peran dan tugasnya sebagai khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Sosok manusia sempurna di dunia ini hanya ada seorang, yaitu Nabi Muhammad saw. Selainnya, dapat dikatakan kurang sempurna. 

Mengapa Rasulullah saw paling sempurna? Karena beliau merupakan pancaran (nur-Muhammad) yang berasal dari Allah; yang pertama kali diciptakan sekaligus tempat berasalnya ruh segala makhluk dan menjadi sumber dari ajaran agama-agama. Karena itu, Ibnu Arabi berkeyakinan bahwa semua umat yang beragama (meskipun berbeda-beda agamanya) sebenarnya menyembah Yang Maha Tunggal, yang menampakkan dalam bentuk-bentuk yang mereka yakini dan sembah. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk-bentuk luar semata. Ada pun substansi dalamnya tetap Yang Maha Tunggal, yang berdiri mandiri dengan wujud-Nya.

Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari Persia, mempunyai analogi yang (saya kira) tepat tentang “wujud” hakikiyah (Tuhan). Rumi bercerita bahwa ada orang India membawa seekor gajah ke suatu negeri yang penduduknya belum pernah melihatnya. Mereka tempatkan gajah itu di sebuah rumah yang gelap tanpa cahaya. Lalu, orang-orang pun masuk ke rumah itu satu demi satu untuk merabanya. 

Begitu mereka keluar dari rumah itu, masing-masing pun bercerita tentang apa yang ditangkap indera perabanya. Salah seorang yang tangannya meraba belalai mengatakan: gajah itu seperti terompet! Yang meraba telinganya mengatakan: gajah itu seperti kipas! Orang tinggi yang bisa meraba punggungnya mengatakan: gajah itu seperti kasur! Sedang si pendek yang hanya bisa meraba kaki-kakinya mengatakan: gajah itu seperti tiang!

Mereka semua tidak bersepakat. Masing-masing meyakini bahwa apa yang dirabanya itu benar-benar mewakili makhluk gajah tersebut. Mereka pun saling klaim dan saling gugat.

Dari cerita Rumi tersebut tampak bahwa pemahaman setiap orang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh “penangkapan” yang bersifat parsial sehingga wujud-mutlak yang ada dalam ruang dan waktu terbatasi dengan “tabir-gelap” yang melingkupi para penafsir (peraba). Faktor kegelapan ruang dan waktu inilah yang mengakibatkan mereka saling memunculkan temuan dan pemahamannya yang beragam. Padahal, kalau saja ada “pelita” (di dalam ruang dan waktu yang gelap itu) pasti mereka akan paham dan mengerti bahwa “wujud-mutlak” (gajah di atas) adalah kesatuan dari temuan-temuan mereka. Pendeknya, “realitas-hakikiyah” dapat diketahui dan dipahami ketika ada “cahaya” yang menerangi dan membuka “tabir-gelap” yang membatasi panca indera dan akal pikiran kita.

Untuk melengkapi bahasan, ada sebuah riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah ditanya: ”Apakah ia telah melihat Tuhan?” Ia menjawab: “Aku tidak menyembah Tuhan yang terlihat mata maupun yang berada di satu arah. Tetapi, aku hanya menyembah kepada Tuhan yang terlihat dengan ‘hati’ (iman) yang hadir di semua arah.”

Karena itu, “realitas-hakikiyah” Tuhan tidak dapat didefinisikan dan dijelaskan dengan bahasa maupun simbol-simbol. Ia hanya mampu dirasakan dan dipahami melalui ‘kesadaran’ yang terang karena cahaya. Selama kita belum diterangi ‘cahaya’ maka yang ada dan tampak adalah “temuan-temuan” yang parsial dan terbatas. Allah berfirman, “Dia tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata, tetapi Dia bisa melihat segala yang kelihatan.” (QS Al-Anam: 103)

Dari pembahasan yang cukup jlimet di atas, dapat ditarik sebuah simpulan sementara bahwa istilah dan nama-nama “Tuhan” (yang berbeda pada setiap agama) adalah manifestasi (penampakan) dari “wujud-mutlak” yang disimbolkan melalui cara dan tingkat pemahaman para penganut serta lokalitas (ruang dan waktu) budaya atau agama setempat dan utusan-Nya. Jadi, wajar jika anak kecil itu dengan kepolosannya berkata: Tuhan itu bulat! *** (ahmad sahidin)