ADA
pengalaman cukup menarik ketika saya melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata
(KKN) IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung, di kawasan Cilengkrang-Bandung,
Mei-Juni 2003.
Saat itu saya diberi tugas untuk memberikan pelajaran sejarah di salah satu masjid. Audiens saya hadapi adalah anak-anak SD dan SMP sehingga pelajaran yang saya berikan adalah cerita tentang nabi-nabi yang terdapat dalam Al-Quran. Saat itu saya menguraikan tentang Nabi Ibrahim, Bapak Monotheisme, yang kuat dibakar api.
Saat itu saya diberi tugas untuk memberikan pelajaran sejarah di salah satu masjid. Audiens saya hadapi adalah anak-anak SD dan SMP sehingga pelajaran yang saya berikan adalah cerita tentang nabi-nabi yang terdapat dalam Al-Quran. Saat itu saya menguraikan tentang Nabi Ibrahim, Bapak Monotheisme, yang kuat dibakar api.
Sedang
asyik bercerita, tiba-tiba seorang anak bertanya: “Kak, kalau Allah itu
bentuknya seperti apa?” Ditanya seperti itu saya terdiam. Bingung. Tidak tahu
bagaimana harus menjelaskannya. Jika saya katakan: Allah itu tidak berbentuk,
tidak beranak, tidak berwujud, tidak tidur, atau Allah itu tunggal, pasti anak
itu akan terus bertanya dengan kepolosannya. Namun, entah ilham darimana, saya
langsung balik tanya. Anak itu dengan polosnya langsung menjawab: “Bulat”.
Mendengar
pernyataan anak tersebut saya tertawa: menertawakan diri sendiri yang tidak
bisa mempresentasikan “sesuatu” yang abstrak. Dalam hati saya merasa kagum
terhadap anak itu. Dengan kepolosannya berani mempresentasikan sesuatu yang
susah diwujudkan dalam bentuk bahasa.
Dari
ungkapan anak itu timbul pertanyaan: apakah ungkapan anak itu telah menyalahi?
Di sinilah letak kerumitan pembahasan tentang Tuhan. Mengapa rumit? Karena
Tuhan adalah “sesuatu” yang tidak terbatas dan tidak terjangkau. Namun, ketika
dibahasakan akan (menjadi) terbatasi atau tersempitkan dengan bahasa itu
sendiri. Dengan melakukan pembahasan terhadap “Yang Tak Terbahasakan” akan
menjadi terkurung dalam bahasa yang dibentuknya. Lalu, apakah perlu dibiarkan
saja ungkapan semisal anak kecil tersebut agar terhindar dari penyempitan
hakikat-Nya? Ini pula yang menjadi masalah. Apabila “sesuatu” dibiarkan tanpa
nama maka akan menjadi sesuatu yang asing atau tidak dikenali dan akhirnya
menjadi sesuatu yang hanya diduga-duga dan kira-kira saja. Bukankah dugaan dan
perkiraan adalah sesuatu yang tidak jelas? Lalu apakah “Tuhan” itu sesuatu yang
remang-remang adanya? Tentu saja kita akan menjawab “tidak” dengan setumpuk
dalil-dalil tekstual dan kontekstual.
Mungkin
benar jika filsuf Xenophanes yang telah melakukan pengembaraan panjang di Timur
Tengah, berkesimpulan bahwa simbol keagamaan (sebenarnya) dibentuk oleh
makhluknya sebagai kesan dari mereka sendiri. Karena itu, seseorang yang punya
kecenderungan tentang keyakinan (agama) akan membuat dan menciptakan “Tuhannya”
sama seperti yang ada dan melingkupi keberadaannya.
Mengapa
bisa seperti itu? Karena realitas metafisika ada di luar jangkauan lahiriah
sehingga manusia tidak akan sampai untuk mengungkapnya. Kemungkinan besar hanya
mampu dipahami dengan ungkapan-ungkapan analogis pikiran atau bahasa kiasan;
karena dari berbagai statemen tentang adanya Tuhan tidak bisa diverifikasi dan
difalsifikasi secara ilmiah maupun empiris. Di sinilah perlunya standar ganda,
yaitu berpikir dengan kapasitas dan yang berdasarkan pada pengalaman
kemanusiaan yang diarahkan kepada “sesuatu” yang berada di luar jangkauan nalar
dan indera manusia.
Wajar
jika muncul istilah-istilah seperti Allah, Hyang Widi, Yahweh, Gusti, Pangeran,
Ahuramazda, Tuhan bapak, Tuhan, Bapak Adam, dan lain sebagainya; sebagai
representasi dari “Yang Tak Terbahasakan” yang dibahasakan dengan istilah
maupun simbol-simbol tertentu yang dianggap dapat mewakili keberadaan realitas
metafisika yang abstraks tersebut.
Bahkan,
Ammatoa, tokoh Komunitas Kajang di Sulawesi Selatan, dalam dialognya dengan
majalah DESANTARA (Edisi 03/Tahun II/2003) berkata: “Apakah kalian menyebut
nama Allah karena membaca tulisan berhuruf Arab, yang berbunyi Allah? Kalau
begitu, jangan-jangan yang kalian sebut Allah, ya, tulisan itu sendiri. Lalu,
apa bedanya disebut Allah Ta’ala dengan Puang Ta’ala?”
Inilah
persoalan yang menimbulkan tanda tanya: kenapa dan mengapa Al-Quran dan Nabi
Muhammad saw (atau Allah) sendiri, memilih istilah “Allah” sebagai realitas
hakikiyah? Saya sendiri belum punya pengetahuan tentang ini. Akan tetapi, jika
didekati dengan pandangan Ibnu Arabi (560-638 H./1165-1240 M.) tentang tajjali
ilahiakan sedikit terjawab. Konsep tajjali ini, menurut Ibnu Arabi, merupakan
keinginan dari Tuhan yang ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian Ia
menciptakan alam semesta sebagai manifestasi (tajjali) atas eksistensinya dalam
tiga martabat.
Kesatu,
martabat ahadiyah. Pada martabat ini wujud (eksistensi) Tuhan merupakan
‘dzat-murni’ yang tunggal dan mutlak, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena
itu, Tuhan tidak dapat dipahami dan disimbolkan, bahkan tidak dapat
diketahui-saking tidak ada yang sederajat atau tidak ada yang sama dengan-Nya
(QS Al-Hasyr: 23; Asy-Syura: 11; Thaha: 14; Al-Ikhlas: 1; Al-Baqarah: 163, 255;
Ali Imran: 2, 18, 51; Al-Anbiya: 22; dan Al-Mu’minun: 116).
Kedua,
martabat wahidiyah, yaitu penampakkan (tajalli) pertama dan paling suci; atau
manifestasi dzat pada sifat dan asma (nama)-Nya. Dengan tajalli ini dzat
tersebut dinamakan Allah sebagai pengumpul dan pengikat sifat-sifat dan
asma-asma-Nya (QS Thaha: 8; Al-A’raaf: 180; Al-Isra: 110; dan Al-Hasyr: 23).
Ketiga,
martabat (tajjali) syuhudiyah, yaitu limpahan suci dari martabatwahidiyah. Pada
martabat ini Allah memanifestasikan diri-Nya melalui asma dan sifat-Nya dalam
bentuk kenyataan faktual (semesta) berupa aneka ciptaan-Nya. Semua ciptaan
termasuk manusia dan alam semesta beserta isinya adalah wadah (mazhar) dan
semuanya (yang dicipta Allah) bergantung kepada-Nya. Artinya, selama masih ada
Tuhan dan masih berkehendak maka alam semesta dan aneka ciptaan-Nya akan tetap
ada.
Menurut
Ibnu Arabi, tajalli ilahi yang paling sempurna adalah diciptakannya manusia
dengan peran dan tugasnya sebagai khalifah di bumi (QS Al-Baqarah: 30). Sosok
manusia sempurna di dunia ini hanya ada seorang, yaitu Nabi Muhammad saw.
Selainnya, dapat dikatakan kurang sempurna.
Mengapa Rasulullah saw paling
sempurna? Karena beliau merupakan pancaran (nur-Muhammad) yang berasal dari
Allah; yang pertama kali diciptakan sekaligus tempat berasalnya ruh segala
makhluk dan menjadi sumber dari ajaran agama-agama. Karena itu, Ibnu Arabi
berkeyakinan bahwa semua umat yang beragama (meskipun berbeda-beda agamanya)
sebenarnya menyembah Yang Maha Tunggal, yang menampakkan dalam bentuk-bentuk
yang mereka yakini dan sembah. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk-bentuk
luar semata. Ada pun substansi dalamnya tetap Yang Maha Tunggal, yang berdiri
mandiri dengan wujud-Nya.
Jalaluddin
Rumi, seorang sufi dari Persia, mempunyai analogi yang (saya kira) tepat
tentang “wujud” hakikiyah (Tuhan). Rumi bercerita bahwa ada orang India membawa
seekor gajah ke suatu negeri yang penduduknya belum pernah melihatnya. Mereka
tempatkan gajah itu di sebuah rumah yang gelap tanpa cahaya. Lalu, orang-orang
pun masuk ke rumah itu satu demi satu untuk merabanya.
Begitu mereka keluar
dari rumah itu, masing-masing pun bercerita tentang apa yang ditangkap indera
perabanya. Salah seorang yang tangannya meraba belalai mengatakan: gajah itu
seperti terompet! Yang meraba telinganya mengatakan: gajah itu seperti kipas!
Orang tinggi yang bisa meraba punggungnya mengatakan: gajah itu seperti kasur!
Sedang si pendek yang hanya bisa meraba kaki-kakinya mengatakan: gajah itu
seperti tiang!
Mereka
semua tidak bersepakat. Masing-masing meyakini bahwa apa yang dirabanya itu
benar-benar mewakili makhluk gajah tersebut. Mereka pun saling klaim dan saling
gugat.
Dari
cerita Rumi tersebut tampak bahwa pemahaman setiap orang berbeda. Perbedaan ini
disebabkan oleh “penangkapan” yang bersifat parsial sehingga wujud-mutlak yang
ada dalam ruang dan waktu terbatasi dengan “tabir-gelap” yang melingkupi para
penafsir (peraba). Faktor kegelapan ruang dan waktu inilah yang mengakibatkan
mereka saling memunculkan temuan dan pemahamannya yang beragam. Padahal, kalau
saja ada “pelita” (di dalam ruang dan waktu yang gelap itu) pasti mereka akan
paham dan mengerti bahwa “wujud-mutlak” (gajah di atas) adalah kesatuan dari
temuan-temuan mereka. Pendeknya, “realitas-hakikiyah” dapat diketahui dan
dipahami ketika ada “cahaya” yang menerangi dan membuka “tabir-gelap” yang
membatasi panca indera dan akal pikiran kita.
Untuk
melengkapi bahasan, ada sebuah riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah
ditanya: ”Apakah ia telah melihat Tuhan?” Ia menjawab: “Aku tidak menyembah
Tuhan yang terlihat mata maupun yang berada di satu arah. Tetapi, aku hanya
menyembah kepada Tuhan yang terlihat dengan ‘hati’ (iman) yang hadir di semua
arah.”
Karena
itu, “realitas-hakikiyah” Tuhan tidak dapat didefinisikan dan dijelaskan dengan
bahasa maupun simbol-simbol. Ia hanya mampu dirasakan dan dipahami melalui
‘kesadaran’ yang terang karena cahaya. Selama kita belum diterangi ‘cahaya’
maka yang ada dan tampak adalah “temuan-temuan” yang parsial dan terbatas.
Allah berfirman, “Dia tidak bisa dicapai oleh penglihatan mata, tetapi Dia bisa
melihat segala yang kelihatan.” (QS Al-Anam: 103)
Dari
pembahasan yang cukup jlimet di atas, dapat ditarik sebuah simpulan sementara
bahwa istilah dan nama-nama “Tuhan” (yang berbeda pada setiap agama) adalah
manifestasi (penampakan) dari “wujud-mutlak” yang disimbolkan melalui cara dan
tingkat pemahaman para penganut serta lokalitas (ruang dan waktu) budaya atau
agama setempat dan utusan-Nya. Jadi, wajar jika anak kecil itu dengan
kepolosannya berkata: Tuhan itu bulat! *** (ahmad sahidin)