Saya senang melihat-lihat saja. Untuk beli buku sekarang ini saya masih mikir dan menimbang. Karena di rumah pun masih ada buku yang belum terbaca. Saya mau beli kalau memang buku tersebut dibutuhkan untuk urusan kerjaan atau untuk menambah wawasan intelektual maupun spiritual. Jika temanya masih sama dengan buku-buku di rumah, ya saya tahan dulu untuk beli buku. Saya saat ini coba prioritaskan untuk keluarga, yaitu memenuhi kebutuhan dasar hidup. Sandang, pangan, dan papan. Juga kebutuhan bensin, gas, listrik, dan membayar air untuk masak. Beli beras dan lauk pauk harian di keluarga. Ini yang saya kira saat ini diprioritaskan. Dan ini harian, mingguan, dan bulanan.
Maklum penghasilan saya hanya didapatkan dari mengajar
pendidikan agama di sekolah swasta dengan status honorer. Cukup untuk
kebutuhan dasar hidup sambil dibantu dari penghasilan istri yang juga ngajar di
taman kanak swasta dan honorer.
Saat keliling stan, ada beberapa buku baru, tapi untuk genre
sastra seperti novel dan buku-buku untuk remaja. Buku untuk umum terlihat
tema-tema ibadah dan parenting. Ini cukup banyak. Sedangkan buku bertema wacana kiri yang seperti
Marxisme dan filsafat sosialisme tidak banyak terlihat pajangannya di pameran.
Hanya ada buku-buku Tan Malaka di satu stand yang gabung dengan buku-buku Islam
dari beberapa penerbit dari Yogyakarta. Saya lihat sepi pengunjungnya. Saya cek
untuk buku Tan Malaka seperti Madilog dan Dari Penjara ke Penjara, cetakannya
masih yang lama.
Begitu juga penjual buku-buku bertema ilmu sosial dan budaya hanya jual
produk lama, yaitu stan penerbit yayasan dari Jakarta. Dengan judul-judul buku
masih lama dan belum ada buku baru. Itu yang saya lihat untuk buku wacana
sosial humaniora dan budaya. Tidak ada buku-buku kiri seperti buku yang sempat
dirazia oleh segerombolan aktivis di Makassar.
Dari pameran tersebut, setidaknya bisa dilihat bahwa minat buku rendah untuk orang Bandung. Apalagi untuk akses buku kiri yang sedang ramai dibincangkan, untuk datang ke pameran buku saja tidak sebanyak ke pasar atau toko baju saat lebaran.
Saya kira memang buku kiri tidak laku dibaca. Di perpustakaan kampus UIN Bandung, perpustakaan Muthahhari Bandung, dan Perpustakaan Daerah Jawa Barat pun kalau saya cek buku kiri capnya tidak banyak. Buku yang banyak dibaca dan dipinjam biasanya cap pinjamnya banyak. Saya lihat buku bertema wacana “kiri” minim dibaca. Tidak menarik, mungkin. Meski ada seorang kawan bilang disukai buku-buku kiri di Makassar. Saya yakin itu minim, sangat sedikit. Sudah tidak laku wacan kiri sekarang ini. Yang menarik itu wacana Islam yang kekinian, seperti fenomena hijrah kaum artis yang ramai-ramai memakai hijab untuk artis perempuan dan celana syirwal (ngatung) untuk artis laki-laki.
Dari tahun ke tahun saya lihat tidak banyak orang yang
datang ke pameran buku. Penerbit yang ikut serta pun masih jual buku-buku lama. Meski sudah ada
diskon besar, tetap sepi pengunjung dan sepi pembeli. Entahlah. Kenapa ya?
Setahu saya promosi di medsos cukup gencar di grup facebook dan instagram.
Bahkan di beberapa lokasi perempatan jalan di kota Bandung ada spanduk pameran
buku. Sudah lumayan gencar dan ada diskon, tetap kurang minat warga Bandung
untuk belanja buku. Mungkin kalah dengan medsos.
Setahu saya, saat dulu di penerbit buku ada standar indikator minat buku masyarakat itu dari penjualan. Jika penjualan tidak bagus, atau sebuah buku tidak laku dalam satu tahun maka pada tahun kedua buku itu akan diturunkan harga, bahkan ada yang sampai 70 % diskonnya. Kalau banyak buku yang tidak laku, maka penerbitan buku baru akan dihentikan atau diperketat terbitnya. Jika enam bulan tak ada yang terbit, maka editor dan desainer nganggur. Mungkin hanya bagian marketing yang masih jalan. Ke sananya mungkin bisa bubar kalau penerbit tersebut tidak kuat modal.
Setahu saya, saat dulu di penerbit buku ada standar indikator minat buku masyarakat itu dari penjualan. Jika penjualan tidak bagus, atau sebuah buku tidak laku dalam satu tahun maka pada tahun kedua buku itu akan diturunkan harga, bahkan ada yang sampai 70 % diskonnya. Kalau banyak buku yang tidak laku, maka penerbitan buku baru akan dihentikan atau diperketat terbitnya. Jika enam bulan tak ada yang terbit, maka editor dan desainer nganggur. Mungkin hanya bagian marketing yang masih jalan. Ke sananya mungkin bisa bubar kalau penerbit tersebut tidak kuat modal.
Kembali lagi pada inti masalah. Mengapa minat baca kurang
dan minat beli buku pun kurang? Mungkin kasih gratis pun tak akan
diambil. Saya kira keberadaan penerbitan, penjualan, dan pembaca
sangat penting dalam geliat literasi masyarakat. *** (ahmad sahidin)