Jumat, 14 Desember 2018

Resensi buku Perjalanan Pulang (Tanpa) Kembali

Semalam saya baru menyelesaikan baca buku Perjalanan Pulang (Tanpa) Kembali. Tuntas. Bagus, mencerahkan, dan mengoyak kesadaran. Sangat menarik buku karya Ustadz Miftah ini. Dari segi penyajian sangat beda dengan buku lain. Mirip buku novel dalam penyajiannya. Tidak ada batas bab, bagian, hanya tanda bintang tiga yang memisahkan setiap peralihan narasi demi narasi. Kalau dilihat dari segi isi ternyata bukan fiksi, tetapi faktual. 

Narasi dibangun berdasarkan pengalaman, memori, dan catatan-catatan dari teks-teks agama. Yang terakhir ini saya mengira seperti tampak pelipur dari setiap narasi yang dibangun. Maklum isi narasi beragam ekspresi: mulai dari sedih, bahagia, tenang, mengalir, dan menghentak. Buat orang yang tidak betah baca, mungkin akan terasa bosan. Karena itu, untuk baca buku karya terbaru dari Ustadz Miftah ini butuh pengorbanan waktu.

Orang yang membaca buku Perjalanan Pulang (Tanpa) Kembali, bisa berhenti di mana saja dan memulai dari mana saja. Meski ada daftar isi, tetapi itu bukan petunjuk untuk memilih narasi yang dibaca. Bahkan hanya memberitahu bahwa halaman narasi yang panjang. Meski panjang dan mengalir, banyak babak cerita yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Memuat cerita masa kecil, teman, dan orang-orang yang pernah menjadi bagian atau mengisi “narasi” perjalanan hidup sang penulis. Seperti hidup, panjang dan terasa lama. Padahal waktunya sedikit karena dibatasi dengan pembatas antara kehidupan satu dengan lain. Dibatasi ruang dan waktu; dibatas peran dan kontribusi, dibatasi dengan umur. Setiap manusia tidak berbeda: ada siklus yang tidak bisa ditolak kehadirannya.

Ada dua hal yang menarik saya dari buku tersebut. Pertama, kisah perjalanan Imam Ali bin Abi Thalib ra dari mulai lahir, remaja bersama Rasulullah saw, malam hijrah dan mengantar hijrah, pernikahan dengan Sayidah Fathimah binti Muhammad saw, dan kecintaan Nabi kepada Imam Ali dan Sayidah Fathimah. Narasi tentang ini dibatasi secara khusus dengan tangkai bunga yang satu sama lain saling menyambung hingga tuntas narasi (halaman 102-123). Kalau dibaca utuh, tampak begitu menguasai Ustadz Miftah tentang narasi dari kedua sosok panutan umat Islam ini. Terasa mengalir, hidup, dan seakan melihat langsung kejadiannya. Sentuhan emosi disertai keterlibatan diri dalam menulis. Ini yang khas dari karya ketujuh dari Ustadz Miftah.  

Kedua, ini yang cukup menegangkan buat saya. Tentang gambaran kehidupan barzakh. Perjalanan panjang yang berliku, terjal, bahaya, dan bahagia. Narasi kehidupan pascakematian di dunia diuraikan dari halaman 191-256. Dari halaman tersebut sangat jelas dalam menggambarkan siksa, amal, dan teman yang mendampingi kala masuk kehidupan barzakh. Bahkan, seakan nyata kebutuhan orang yang sudah wafat terhadap kiriman doa dan bacaan Quran dari orang yang hidup. Tampaknya orang yang suka tahlilan kematian mendapat legitimasi ibadah dalam narasi ini. Sebab, setiap narasi yang dibangun didasarkan pada landasan ayat Quran dan hadis Rasulullah saw. Kuat, mengalir, dan terasa menyadarkan nurani untuk berbuat sesuatu kepada yang sudah wafat. Ini yang terasa oleh saya ketika selesai membaca bagian barzakh, langsung tergerak untuk mengirimkan fatihah dan doa untuk kedua orangtua yang sudah wafat dan seorang teman yang juga wafat.

Pengalaman hidup, catatan perjalanan, dan narasi pascakematian yang menyadarkan saya bahwa ada kehidupan pascahidup. Selamat menempuh perjalanan!

Hatur nuhun, Ustadz. Nyuhunkeun pidu'ana kanggo sagala rupi kahirupan sareng kahuripan simkuring sakulawargi; dunya miwah aherat, sarta isuk jaganing geto bakal ngalaman kahirupan alam barzakh. *** (ahmadsahidin)