Semalam saya baru menyelesaikan baca buku Perjalanan Pulang (Tanpa) Kembali.
Tuntas. Bagus, mencerahkan, dan mengoyak kesadaran. Sangat menarik buku karya
Ustadz Miftah ini. Dari segi penyajian sangat beda dengan buku lain. Mirip buku
novel dalam penyajiannya. Tidak ada batas bab, bagian, hanya tanda bintang tiga
yang memisahkan setiap peralihan narasi demi narasi. Kalau dilihat dari segi
isi ternyata bukan fiksi, tetapi faktual.
Narasi dibangun berdasarkan pengalaman,
memori, dan catatan-catatan dari teks-teks agama. Yang terakhir ini saya
mengira seperti tampak pelipur dari setiap narasi yang dibangun. Maklum isi
narasi beragam ekspresi: mulai dari sedih, bahagia, tenang, mengalir, dan
menghentak. Buat orang yang tidak betah baca, mungkin akan terasa bosan. Karena
itu, untuk baca buku karya terbaru dari Ustadz Miftah ini butuh pengorbanan
waktu.
Orang yang membaca buku Perjalanan
Pulang (Tanpa) Kembali, bisa berhenti di mana saja dan memulai dari mana
saja. Meski ada daftar isi, tetapi itu bukan petunjuk untuk memilih narasi yang
dibaca. Bahkan hanya memberitahu bahwa halaman narasi yang panjang. Meski
panjang dan mengalir, banyak babak cerita yang menarik untuk dijadikan
pelajaran. Memuat cerita masa kecil, teman, dan orang-orang yang pernah menjadi
bagian atau mengisi “narasi” perjalanan hidup sang penulis. Seperti hidup,
panjang dan terasa lama. Padahal waktunya sedikit karena dibatasi dengan
pembatas antara kehidupan satu dengan lain. Dibatasi ruang dan waktu; dibatas
peran dan kontribusi, dibatasi dengan umur. Setiap manusia tidak berbeda: ada
siklus yang tidak bisa ditolak kehadirannya.
Ada dua hal yang menarik saya dari buku tersebut. Pertama, kisah perjalanan Imam Ali bin
Abi Thalib ra dari mulai lahir, remaja bersama Rasulullah saw, malam hijrah dan
mengantar hijrah, pernikahan dengan Sayidah Fathimah binti Muhammad saw, dan
kecintaan Nabi kepada Imam Ali dan Sayidah Fathimah. Narasi tentang ini
dibatasi secara khusus dengan tangkai bunga yang satu sama lain saling
menyambung hingga tuntas narasi (halaman 102-123). Kalau dibaca utuh, tampak begitu
menguasai Ustadz Miftah tentang narasi dari kedua sosok panutan umat Islam ini.
Terasa mengalir, hidup, dan seakan melihat langsung kejadiannya. Sentuhan emosi
disertai keterlibatan diri dalam menulis. Ini yang khas dari karya ketujuh dari
Ustadz Miftah.
Kedua, ini yang
cukup menegangkan buat saya. Tentang gambaran kehidupan barzakh. Perjalanan panjang
yang berliku, terjal, bahaya, dan bahagia. Narasi kehidupan pascakematian di
dunia diuraikan dari halaman 191-256. Dari halaman tersebut sangat jelas dalam
menggambarkan siksa, amal, dan teman yang mendampingi kala masuk kehidupan
barzakh. Bahkan, seakan nyata kebutuhan orang yang sudah wafat terhadap kiriman
doa dan bacaan Quran dari orang yang hidup. Tampaknya orang yang suka tahlilan
kematian mendapat legitimasi ibadah dalam narasi ini. Sebab, setiap narasi yang
dibangun didasarkan pada landasan ayat Quran dan hadis Rasulullah saw. Kuat,
mengalir, dan terasa menyadarkan nurani untuk berbuat sesuatu kepada yang sudah
wafat. Ini yang terasa oleh saya ketika selesai membaca bagian barzakh, langsung
tergerak untuk mengirimkan fatihah dan doa untuk kedua orangtua yang sudah
wafat dan seorang teman yang juga wafat.
Pengalaman hidup, catatan perjalanan, dan narasi
pascakematian yang menyadarkan saya bahwa ada kehidupan pascahidup. Selamat menempuh
perjalanan!
Hatur nuhun, Ustadz. Nyuhunkeun pidu'ana kanggo sagala rupi
kahirupan sareng kahuripan simkuring sakulawargi; dunya miwah aherat, sarta
isuk jaganing geto bakal ngalaman kahirupan alam barzakh. *** (ahmadsahidin)