Jumat, 10 Januari 2020

Sumber Ajaran Islam: Tinjauan Ringkas

Dalam Al-Quran disebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah” (QS Al-Hasyr: 7).

Al-Kitab dan Al-Hikmah
Islam sebagai agama tentu memiliki sumber dalam setiap ajaran dan praktik beragama. Sumber utama dalam Islam adalah Allah dan Rasulullah saw.[1] Dalam al-Quran disebutkan bahwa yang diturunkan kepada para Nabi (yang kemudian menjadi sumber ajaran agama) adalah Al-Kitab dan Al-Hikmah. Hal ini tercantum dalam surah Maryam ayat 12; Al-Baqarah ayat 129, 151, dan 231; Al-Jumuah ayat 2. Disebutkan bahwa Allah menurunkan Al-Kitab berupa Taurat, Zabur, dan Injil kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw.
Al-Quran menyebut Al-Kitab untuk risalah dan kitab suci berupa wahyu yang diberikan Allah melalui malaikat Jibril kepada Muhammad bin Abdullah sebagai tanda kenabian atau Utusan Allah yang terakhir. Disebutkan pula para Nabi diberi Al-Hikmah oleh Allah sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalankan agamanya. Al-Hikmah ini dianggap sebagai As-Sunnah oleh sekelompok umat Islam, yang menyandarkan pendapatnya kepada Muhammad Idris Asy-Syafii (Imam Syafii): “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.”[2]

Kalau mengikuti pendapat Imam Syafii maka setiap Nabi yang diutus harus memiliki sunnah masing-masing. Sampai sekarang ini dalam catatan sejarah belum ditemukan kumpulan tulisan sunnah dari Nabi Daud as, Nabi Musa as, dan Nabi Isa as. Dan yang digunakan oleh umat beragama samawi seperti Yahudi dan Nasrani sekarang ini hanya al-kitab (kitab suci) bukan sunnah atau tradisi para Nabi yang tertulis dan diwariskan turun temurun.

Umat beragama non Islam bisa dipastikan merujuk pada kitab suci. Kalau pun ada sunnah dari Nabinya, pasti sudah tidak bisa dipastikan otentik atau aseli. Sudah berubah dan mungkin hilang. Yang senantiasa ada, bahkan bisa diwariskan adalah Al-Hikmah, pencerahan berupa renungan atau pelajaran keagamaan dalam bentuk tradisi lisan atau obrolan kaum beragama; yang secara substansi memiliki kesamaan dengan ajaran agama dalam kitab-kitab suci. Seperti ajakan pada kebaikan, kebenaran, kesalehan, keadilan, atau larangan berbuat zalim dan tidak melakukan kejahatan.

Al-Quran dan Sunnah
Sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat Islam bahwa Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam. Dari keduanya umat Islam mengambil ajaran dan amaliah dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam hadis disebut dengan istilah “Kitabullah wa Sunnati,” yang merujuk hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (sebuah telaga di surga).” 

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa secara mursal (tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Juga terdapat dalam At-Tamhid Syarh Al-Muwatta Ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, Jami’ As-Saghir As-Suyuthi, Al Faqih Al Mutafaqqih karya Al-Khatib, Shawaiq Al Muhriqah karya Ibnu Hajar, Sirah Ibnu HisyamAl- Ilma ‘ila Ma’rifah Usul Ar-Riwayah wa Taqyid As-Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al-Ihkam karya Ibnu Hazm, dan Tarikh At-Thabari.

Dari sejumlah kitab tersebut disebutkan hadis ‘Kitabullah wa Sunnati’ diriwayatkan dengan empat jalur sanad: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Amr bin Awf ,dan Abu Said Al-Khudri.


Sayangnya, hadis ‘Kitabullah wa Sunnati’ ini tidak terdapat dalam Kutub As-Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi).

Kitabullah wa Itrah Ahlulbait
Masih dalam hadis disebutkan bahwa umat Islam setelah Rasulullah saw harus berpegang teguh dengan Kitabullah wa Itrah Ahlulbait (Al-Quran dan Ahlulbait) sebagai sumber ajaran Islam. Hal ini tercantum dalam kitab Shahih Muslim, no. 6378 /2408/ 4425.

حدثني زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَشُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ جَمِيعًا عَنِ ابْنِ عُلَيَّةَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنِى أَبُو حَيَّانَ حَدَّثَنِى يَزِيدُ بْنُ حَيَّانَ قَالَ انْطَلَقْتُ أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- – قَالَ – يَا ابْنَ أَخِى وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّى وَقَدُمَ عَهْدِى وَنَسِيتُ بَعْضَ الَّذِى كُنْتُ أَعِى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَمَا حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لاَ فَلاَ تُكَلِّفُونِيهِ.  ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى »

“Berkata kepada kami Zuhair ibn Harb… Berkata kepadaku Zuhair…berkata Zaid ibn Arqam bahwa wahai putra saudaraku, ‘Demi Allah telah tua umurku, dan berlalu masaku dan telah lupa sebagian yang dimana aku telah mendengarnya dari rasulullah saw(beliau bersabda) apa-apa yang aku katakan kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang tidak (aku perintahkan) maka janganlah kamu menyalahiku dengannya.’ Kemudian dia berkata, ‘Suatu hari Rasulullah saw berdiri dan berkhutbah kemudian diseru (olehnya) kita di antara Makkah dan Madinah (Ghadir Khum) kemudian berhamdalah kepada Allah serta memuji-Nya kemudian menasihati serta bersabda, ‘Amma ba’du wahai manusia sesungguhnya saya adalah manusia hampir tiba saatnya datang utusan Tuanku, dan aku akan menjawabnya (maksudnya akan dipanggil Tuhannya) dan aku telah meninggalkan kepadamu tsaqalain (dua pusaka yang berat); yang pertama adalah Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya petunjuk dan cahaya; maka peganglah dengan kitabullah dan berkomitmen padanya’; (yang kedua) adalah Ahlulbaitku, aku ingatkan pada kalian dengan nama Allah mengenai ahlulbaitku. Aku ingatkan di depan Allah kepada kalian mengenai Ahlulbaitku, aku ingatkan di depan Allah pada kalian mengenai Ahlulbaitku.” 

Hadis tersebut dimuat dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, kitab Sunan At-Tirmidzi dengan sumber dari sahabat Nabi bernama Jabir ibn Abdullah dan dari Ali ibn Mundzir alkufi dari Zaid ibn Arqam, kitab Al- Mu’jam Al-Kabir (At-Thabrani) dengan sanad dari Ibnu Al-Fadhl As-Saqthi dari Sa’id Al-Ghifari, Muhammad ibn Abdillah Al-Hadhrami dari Hudzaifah ibn Asad Al-Ghifari, kitab Ad-Dur Almantsur karya Jalaludin As-Suyuthi dengan sanad dari Sa’id Al-Khudri dan dari Ahmad bin Hanbal dari Zaid ibn Tsabit.

Dari segi riwayat hadit ‘Kitabullah wa Itrah Ahlulbait’ termasuk mutawatir (banyak diriwayatkan) dan orang-orang yang menyampaikannya (rawi) termasuk terpercaya berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim. Bahkan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Albany dalam kitab Silsilah Al-Hadits Al-Shahihah. Ayatullah Borujerdi menyebutkan lebih dari dua ratus kitab Sunni yang meriwayatkan hadis tersebut.[3]

Sunnah dan Ahlulbait
Murtadha Muthahhari menjelaskan hadis “Kitabullah wa Sunnati” dan “Kitabullah wa Itrah Ahlulbaiti” memiliki kemungkinan disampaikan oleh Rasulullah saw dalam kesempatan yang berbeda. Sehingga keduanya tidak bertentangan dan saling menguatkan keberadaanya. Dalam hal ini Muthahhari menulis:

… kita tidak dapat menafikan kemungkinan Nabi saw bersabda  di kesempatan tertentu bahwa Nabi saw akan meninggalkan dua perkara: Kitab Allah dan sunahnya. Tidak ada perbedaan antara keturunan Nabi saw dan sunahnya, karena yang dapat menjelaskan sunahnya adalah keturunannya. Sedangkan eksistensi keturunannya dan sunahnya satu sama lain tidak terpisah. Keturunan beliaulah yang menjelaskan secara terperinci dan menjaga sunahnya. Bila Nabi saw menyebut keturunannya bersama kitab Allah, beliau bermaksud mengatakan bahwa kalau mau mengetahui sunahnya, rujuklah keturunannya. Bahkan pernyataan bahwa Nabi saw bersabda, ‘Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat yang berat: kitab Allah dan keturunanku’, itu sendiri sunnah. Karena itu, tidak ada perbedaan antara sunnah Nabi saw dan keturunan beliau. Kalau di satu tempat dan bahkan ini belum pasti, Nabi saw mengatakan, ‘Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat yang berat: kitab Allah dan sunnahku’, maka dibanyak tempat lainnya, beliau menggunakan ungkapan lain. Jika dalam satu kitab hadis ini ditulis dalam satu bentuk, pada dua ratus kitab lainnya ditulis dalam bentuk lain.”[4] ***

Catatan Akhir
[1] Dalam Al-Quran disebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah” (QS Al-Hasyr ayat 7).
[2] Dikutip dari hadits web, kumpulan & referensi belajar hadits, dalam http://opi.11omb.com/  bagian: As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Quran.
[3] Murtadha Muthahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam (Jakarta: Citra, 2012) halaman 613.
[4] Murtadha Muthahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam  (Jakarta: Citra, 2012) halaman 614.

PENULISAhmad Sahidin, alumni jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung