Jumat, 06 Januari 2017

Perintah Dzikir dalam Islam

JALALUDDIN Rumi bercerita tentang seorang penduduk Konya yang menanam duri di tepi jalan. Ia sering menyiraminya sehingga tanaman berduri itu tumbuh besar. Mula-mula orang tidak terganggu dengan duri itu. Orang-orang mulai protes saat duri itu bercabang dan menghalangi jalan. Dan hampir setiap orang pernah tertusuk durinya, bahkan si penanamnya pun tertusuk.

Pemerintah setempat datang dan meminta agar menyingkirkan tanaman berduri tersebut. Tadinya tak mau menebangnya. Namun setelah diyakinkan maslahat (keuntungan) dan madharatnya (kerugian), orang itu berjanji akan menyingkirkannya. Ternyata janjinya itu tak terbukti, karena ia menangguhkannya. Demikian juga hari berikutnya. Hal itu terus menerus terjadi sampai orang itu tua dan tanaman berduri itu sudah menjadi pohon yang besar dan kokoh. Dan orang itu tak sanggup untuk mencabut pohon berduri yang ditanamnya itu.

Di penghujung cerita, Rumi berkata, “Penanam duri itu adalah kalian, yaitu hamba yang malang. Tanaman berduri itu adalah kebiasaan-kebiasaan buruk kalian, perilaku yang tercela yang selalu kalian pelihara dan sirami. Karena perilaku buruk itu, sudah banyak orang yang menjadi korban dan korbannya adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan tangguhkan untuk memotong duri-duri itu. Ambillah kapak dan tebang duri-duri itu agar orang bisa melanjutkan perjalanannya tanpa terganggu oleh kamu.”

Hikmah
Apa hikmah dari cerita Jalaluddin Rumi di atas? Bagi penulis, kisah tersebut merupakan gambaran dari fase dimulainya proses tazkiyatunnafs, yang diawali dengan “pemangkasan duri-duri” yang kita tanam dalam bentuk perilaku yang tercela. Jika tidak segera dibersihkan, duri itu satu saat akan membesar sehingga sulit untuk kita pangkas dengan memakai senjata apa pun. Praktek tazkiyatunnafs ini, dalam ilmu tasawuf disebut takhliyyah, yang artinya mengosongkan, membersihkan, atau mensucikan diri. Para sufi melakukannya melalui tiga cara; lapar (untuk menundukan hawa nafsu), diam (untuk membersihkan hati dari kejahatan lidah), dan shaum (untuk membersihkan dan menyucikan jiwa).

Setelah menempuh praktek tersebut, para penempuh jalan tasawuf kemudian mengamalkan fase takhliyyah berupa dzikir dan pengabdian kepada sesama. Dzikir dalam hal ini adalah proses membersihkan diri dari berbagai penyakit hati seakaligus upaya menutup pintu-pintu masuk setan ke dalam diri kita. Dzikir dalam Islam amalannya tidak dibatasi waktu. Allah Swt dalam Al-Quran Surat  Al-Ahzab ayat 41 berfirman, “Berzikirlah kamu kepada Allah dengan zikir yang sebanyak-banyaknya.”

Jadi, betapa pun jeleknya kualitas dzikir kita, itu tak berpengaruh. Yang dianjurkan Allah adalah berdzikir sebanyak-banyaknya. Karena itu dzikir tak ada batasannya. Sehingga Allah Swt memuji orang yang selalu berzikir dalam setiap keadaan (QS. Ali Imran: 191; Al-Jumu`ah : 10).

Allah Swt memerintahkan kepada Rasulullah untuk memelihara zikirnya. “Sesungguhnya kamu pada siang itu bertasbih yang panjang dan berzikirlah kamu kepada Tuhanmu dan berserah-dirilah kepada Dia dengan penyerahan diri yang sepenuhnya” (QS Al-Muzammil : 7-8). Allah juga berfirman khusus kepada Rasulullah SAW agar berzikir dengan menyebut asma Allah pada waktu pagi dan sore. ”Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al-Insan[76]:26).

Dalam surat At-Thur ayat 48-49, Allah Swt juga berfirman, ”Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar)”.

Perintah dzikir kepada Rasulullah saw adalah juga sekaligus perintah dzikir kepada umatnya. Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah saw bersabda, “Allah Swt berfirman:” Aku akan menyertai hamba-Ku ketika dia berzikir kepada-Ku dan ketika bibirnya menyebut nama-Ku.”  (HR At-Thabrani)

Pada suatu ketika Rasulullah saw ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Rasulullah SAW menjawab, “Amal paling utama adalah engkau mati dan bibirmu masih basah menyebut Allah Ta’ala.”

Rasulullah juga bersabda, “Allah Swt berfirman, “Apabila hamba-Ku berzikir kepada-Ku sendirian, Aku pun akan menyebut namanya sendirian. Apabila hamba-Ku menyebut nama-Ku dalam suatu kumpulan, Aku pun akan menyebut namanya dalam kumpulan yang lebih utama dari kumpulan dia. Dan apabila dia mendekatkan diri kepada-Ku satu hasta, Aku akan mendekatkan diri kepadanya satu siku. Apabila dia mendekatkan diri kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan mendekatkan diri kepadanya sambil berlari.”

Menurut Abu Atha Al-Sukandari, dzikir dapat dikelompokkan menjadi dzikir yang berisi pujian kepada Allah Swt, misalnya subhanallah (Maha Suci Allah), alhamdulillah (segala puji bagi Allah), dan lailaha illallah huwa allahu akbar (tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Agung). Tapi ada juga dzikir yang berisi permohonan, misalnya ”rabbana atina fid duny hasanah wa fil akhirati hasanah”. Dan ada juga dzikir yang hanya berisi percakapan atau ungkapan perasaan kita kepada Allah yang biasanya disebut munajat. Semoga kita dapat berdzikir di mana pun kita berada. Selamat berdzikir dan melakukan muraqabatullah.

[ahmad sahidin]