Sabtu, 07 Januari 2017

Bisyr dan Kesadaran Nurani

DIKISAHKAN pada zaman Dinasti Abbasiyah, hiduplah seorang bernama Bisyr. Ia dikenal sebagai seorang ahli maksiat, dari mulai minum khamr, zina, judi, dan kemaksiatan lainnya.

Pada suatu malam, Imam Musa Kazhim—keturunan Nabi Muhammad Rasulullah saw dari jalur Imam Husain putra Imam Ali dan Sayyidah Fatimah Azzahra— lewat di depan rumah Bisyr. Ia mendengar suara nyanyian dan musik, cekikikan, ketawa laki dan perempuan dari rumah tersebut.

Dari rumah itu salah seorang pembantu wanita Bisyr untuk membuang sampah. Imam Musa Kazhim memanggil wanita tersebut dan bertanya, "Hai Fulanah, saya mau tanya apakah pemilik rumah ini merupakan seorang merdeka atau budak?"

Pembantu Bisyr menjawab, "Pemilik rumah ini adalah seorang merdeka." "Oh, Pantas! Kalau dia seorang budak, pastilah dia akan takut kepada majikannya," komentar Imam Musa Kazhim seraya melanjutkan perjalanannya. Si pembantu pun masuk ke rumah Bisyr. Saat masuk, Bisyr yang duduk dikelilingi teman-teman maksiatnya, bertanya, "Hai, kenapa kamu lama di luar? Ada apa sih?".

Yang ditanya pun menceritakan pertemuannya dengan Imam Musa Kazhim. Mendengar cerita itu, tubuh Bisyr gemetar dan segera berlari keluar rumah serta bertemu Imam Musa Kazhim. Bisyr langsung berkata sambil menangis, "Lima puluh tahun aku hidup tidak merasa bahwa aku ini sejatinya seorang hamba Allah. Maka saksikanlah wahai Imam, mulai detik ini aku bertaubat dan tidak akan mengulangi segala larangan Allah dan menjalankan segala apa yang di perintahkan-Nya".

Sejak kejadian itu, Bisyr berubah menjadi Muslim yang taat. Ia dikenal orang dengan sebutan Bisyr al-Hafi, yang tidak pakai sandal, karena tidak pernah memakai sandal semenjak dia bertaubat. Saat ditanya alasannya, Bisyr menjawab, "Karena waktu aku bertaubat, aku tak memakai sandal. Aku ingin selalu ingat masa-masa indah itu".

HikmahKisah ini saya dapatkan di sebuah milis Islam yang dikirim seorang ustadz yang ahli dalam khazanah ketimuran. Menurutnya, kisah Bisyr tersebut merupakan bentuk kesadaran dari tidak iman ke iman. Kesadaran ini bisa dimaknai sebagai taubat. Taubat memang langkah untuk menuju lebih baik dari sebelumnya. Dalam taubat, lanjutnya, seseorang pasti membutuhkan tekad, momen, dan kata-kata yang tepat dan menggugah.

Jika melihat dari kisah di atas, Imam Musa Kazhim tak banyak mengeluarkan kata-kata, cukup menanyakan tentang apakah ia seorang merdeka atau budak. Namun kata-kata ringan itulah yang membuat Bisyr seperti ditampar sehingga sadar dan cepat-cepat bertaubat.

Kisah di atas betul-betul mengoyak kesadaran. Ini fakta yang sering dialami, yaitu ketika mendengar adzan, saya tak segera ke masjid, malah melalaikan dan menunda seruan itu. Padahal saya tahu itu panggilan Allah yang meminta untuk membuktikan ketaatan sekaligus penghambaan pada-Nya. Ini salah satu contoh. Namun kejadian di luar yang tak saya alami, mungkin, lebih dari itu.

Jadi, menurut saya, taubat merupakan pengakuan sekaligus kesadaran atas kelalaian dan dosa yang dilakukan, baik sadar maupun tak sadar. Namun untuk sampai ke gerbang taubat itu, jenjang waktunya sangat berbeda. Orang shalih atau ulama akan segera cepat memohon ampun bila dirinya melakukan kesalahan. Orang biasa, sedikit agak lama sadarnya. Orang jenis ini perlu diingatkan orang lain atau sadarnya saat hukuman menimpanya. Beda lagi dengan ahli maksiat, mungkin kesadarannya atas perilaku dan tindakan buruk-jahat-tercela itu, disadari saat ajal dikerongkongannya.

Meskipun tempo waktunya berbeda, namun dibalik itu harus diakui, kesadaran atas dosa diri dan terhadap orang lain, merupakan kejujuran yang pantas mendapatkan hadiah berupa ampunan.

Betapa pun besar dan banyaknya dosa dan kesalahan manusia, Allah pasti akan mengampuninya bila bertaubat. Inilah yang membedakan kedudukan manusia dibanding setan atau iblis dihadapan Allah.Satu kesalahan diperbuat setan, sampai kiamat pun tak terampuni; tapi sebanyak dosa diperbuat manusia, sebanyak itu pun Allah Yang Mahapengampun beri ampunan. 

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari  ketika Allah tak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil berkata, ’ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya dan ampunilah kami; sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.’” (QS At-Tahrim: 8).

Yang perlu dicermati saat melakukan proses pertaubatan adalah selayaknya sadar dan mengetahui dosa serta kesalahannya. Jangan asal dzikir.

[ahmad sahidin]