Ada beberapa bentuk penulisan sejarah: deskriptif naratif (penulisan sejarah
yang menggambarkan kejadian sebagai proses dan lengkap dengan fakta sejarah)
dan deskriptif analitis (penulisan narasi yang menerangkan kausalitas atau mengungkap
struktur-struktur sosial).
Bentuk penulisan lainnya adalah deskriptif geneologi. Penyajian narasi (tulisan
sejarah) geneologi dimulai dari masa kini dan bergerak mundur ke masa lalu sampai
perbedaan ditemukan. Setiap narasi sejarah dibatasi diskontinuitas yang
ditandai dengan difference. Kemudian (pada bagian akhir) bergerak maju
kembali dan menelusuri transformasi sejarah.
Sejarawan dalam penulisan sejarah dituntut untuk menyajikan (narasi)
sejarah dengan sentuhan seni (history of art). Karya sejarah merupakan
laporan dan hasil penelitian yang tentunya harus diketahui masyarakat untuk
mendapatkan inspirasi atau hikmah. Penyajian sejarah yang “garing” atau yang
tidak menggunakan imajinasi akan membuat karya sejarah tidak tersentuh
masyarakat. Karena itu, dalam bekerja (menyajikan sejarah) sejarawan harus
dapat membayangkan apa yang sebelumnya terjadi, apa yang sedang terjadi, dan
apa yang akan terjadi sesudah itu.
Dengan kata lain, sejarawan harus mampu membayangkan, menghadirkan
suasana dan peristiwa sejarah dengan sebenar-benarnya yang terjadi di masa
lalu. Fungsi imajinasi dalam sejarah berbeda dengan karya sastra yang kadang
tidak sesuai dengan realitas karena dibangun dengan khayalan (fiktif).
Sedangkan penulisan sejarah didasarkan interpretasi atas sejumlah fakta
sehingga dalam menggambarkan dituntut supaya faktual dan logis.
Agar penyajian sejarah tidak terjebak dengan prosa sastra maka
diperlukan kemampuan menulis yang baik, mempelajari tata bahasa, tidak mengabaikan
logika kalimat: konsistensi dan koherensi), dan menyajikan fakta sejarah.
Bandung, 17 Desember 2014
Ahmad Sahidin