Minggu, 12 Oktober 2014

Mengenai Buku Terjemahan Sirah Ibnu Hisyam

Beberapa waktu yang lalu, saya belanja buku. Buku yang dibeli untuk kebutuhan kuliah. Awalnya saya cari di Palasari, kawasan Buah Batu dan jalan Banteng Bandung. Saya tanya ke setiap toko yang ada di Palasari. Ternyata lagi kosong. 

Saya kemudian pergi ke Otista. Di sana menuju Alfalah. Lagi tutup. Bergerak lagi ke Dahlan. Di sana masih buka meski adzan dzuhur kumadang. Biasanya langsung tutup toko kalau adzan sedang dikumandangkan.

Saya tanya, ternyata ada. Harganya luar biasa, mendekati dua ratus ribu rupiah untuk dua buku terjemahan "Sirah Ibnu Hisyam". Kemudian saya beli satu buku lagi tentang historiografi Islam yang terjemahan dari kitab berbahasa Arab. Harganya juga mahal. Saya cari yang ditulis sejarawan Indonesia, ternyata tidak ada. Lagi kosong. 

Sambil membawa pulang buku yang sudah dibeli, saya sedikit ngedumel. Pasalnya karena harganya mahal. Kalau murah mungkin bisa beli lagi buku tentang Sirah Nabawiyah yang ditulis Fethullah Ghulen. Saya lihat terpampang dan bisa untuk melengkapi kajian saya tentang historiografi Sirah Nabawiyah. Karena uangnya tidak cukup sehingga tak terbawa pulang. Coba kalau bisa ngutang, mungkin terbawa. Sayangnya di toko tersebut tidak bisa utang dan memang tak ada ruang untuk utang.

Harga-harga buku di atas (sungguh) tidak bersahabat untuk seorang mahasiswa yang pas-pasan seperti saya ini. Betul-betul menguras uang saku. Karena lagi butuh sehingga untuk kebutuhan dapur harus dikerat dan dipotong dengan maksimal. Istri saya pun memahaminya ketika saya bilang ada yang harus dibeli.

Setelah saya bawa ke rumah, ternyata buku Sirah Ibnu Hisyam tersebut diterjemahkan oleh seseorang yang bergelar lc (biasanya lulusan Mesir) dan penerbitnya Darul Falah di Jakarta. Saya mengetahui penerbit ini cenderung pada ajaran Wahabisme. 

Setelah saya lihat dari halaman dan daftar isi buku, saya tak temukan peristiwa: ghadir khum, dakwah kepada kerabat Nabi, diutusnya pasukan Usamah untuk perang saat nabi dalam keadaan sakit, dan malam perang tabuk. Tentu buku terjemah itu harus dibandingkan dengan buku Ibnu Hisyam berbahasa Arab yang diterbitkan dari tahun ke tahunnya. Bahkan yang diterjemahkan bahasa Inggris pun layak dibaca untuk sekadar bandingkan otentisitasnya. 

Dan secara umum sudah diketahui bahwa Sirah Ibnu Hisyam ini lanjutan dari Sirah Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam melanjutkan tulisan gurunya (Ibnu Ishaq) dan dalam menyusunnya ini mengaku dirinya melakukan pembuangan atas karya gurunya itu. Nah, ini harus dicek apa saja yang dibuang oleh Ibnu Hisyam dari karya Ibnu Ishaq? Ayo kita baca dan telusuri! *** (ahmad sahidin)