Islam sebagai agama tentu memiliki sumber dalam setiap ajaran dan praktik beragama. Sumber utama dalam Islam adalah Allah dan Rasulullah saw.[1] Kalau melihat Al-Quran sebagai sumber utama dari Allah bahwa yang diturunkan kepada para Nabi yang merupakan sumber dari ajaran agama Islam adalah Al-Kitab dan Al-Hikmah. Hal ini terdapat dalam surah Maryam ayat 12; Al-Baqarah ayat 129, 151, dan 231; Al-Jumuah ayat 2. Disebutkan bahwa Allah menurunkan Al-Kitab berupa Taurat, Zabur, dan Injil kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Kemudian menyebut Al-Kitab pula untuk risalah dan kitab suci (Al-Quran) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai Utusan Allah yang terakhir. Juga disebutkan para Nabi diberi Al-Hikmah oleh Allah, termasuk Nabi terakhir, sebagai petunjuk dan pedoman dalam menjalankan agamanya. Al-Hikmah ini kemudian dianggap sebagai As-Sunnah. Pendapat ini disandarkan kepada Muhammad Idris Asy-Syafii (Imam Syafii), “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.”[2]
Kalau berpegangan dengan pendapat tersebut maka setiap
Nabi yang diutus di bumi memiliki sunnah masing-masing. Sampai sekarang ini
dalam catatan sejarah belum ditemukan kumpulan tulisan sunnah dari Nabi Daud
as, Nabi Musa as, dan Nabi Isa as. Yang digunakan agama samawi seperti Yahudi
dan Nasrani sekarang ini hanya al-kitab (kitab suci), bukan sunnah. Ke mana
hilangnya kalau memang ada sunnah yang diajarkan Allah kepada mereka yang
menjadi ajaran-ajaran agama?
Mungkin bisa dipahami bahwa Al-Hikmah ini merupakan pencerahan
yang diberikan Allah yang bukan termasuk risalah utama dan pengetahuan yang
bersifat pelajaran dari kejadian-kejadian yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Juga perlu disebutkan dalam agama Islam ada landasan
lainnya, seperti Kitabullah wa Sunnati (Al-Quran dan Sunnah Nabawiyyah) dan
Kitabullah wa Itrah Ahlulbait (Al-Quran dan Ahlulbait) sebagai sumber ajaran
bagi umat Islam.
Ulama yang menyebutkan Al-Quran dan Sunnah sebagai
sumber Islam merujuk hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Aku tinggalkan dua perkara untuk
kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat
selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya
sampai keduanya mendatangiku di haudh (sebuah telaga di surga).” Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa secara mursal (tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.
Kemudian terdapat dalam At-Tamhid Syarh Al-Muwatta
Ibnu Abdil Barr, Sunan Baihaqi, Sunan Daruquthni, Jami’ As-Saghir As-Suyuthi,
Al Faqih Al Mutafaqqih karya Al-Khatib, Shawaiq
Al Muhriqah karya Ibnu Hajar, Sirah Ibnu Hisyam, Al- Ilma ‘ila
Ma’rifah Usul Ar-Riwayah wa Taqyid As-Sima’ karya Qadhi Iyadh, Al-Ihkam
karya Ibnu Hazm, dan Tarikh At-Thabari. Dari sejumlah kitab tersebut
disebutkan hadits ‘Kitabullah wa Sunnati’ diriwayatkan dengan empat
jalur sanad: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Amr bin Awf, dan Abu Said
Al-Khudri.
Sayangnya, hadis ‘Kitabullah wa Sunnati’ ini
tidak terdapat dalam Kutub As-Sittah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa’i, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi) yang merupakan rujukan utama dalam masalah hadits. Bahkan, ada yang
sampai menyatakan hadits tersebut termasuk dhaif. Meski tidak ada dalam kitab
hadits yang utama dan disebut dhaif, tetapi sampai sekarang ini menjadi
kebenaran umum di masyarakat Islam Indonesia.
Sementara hadits yang menyebutkan Kitabullah wa Itrah Ahlulbait sebagai sumber (pedoman)
bagi umat Islam disebutkan dalam shahih Muslim no. 6378 /2408/ 4425.
“Berkata kepada kami
Zuhair ibn Harb… Berkata kepadaku Zuhair…berkata Zaid ibn Arqam bahwa wahai
putra saudaraku, ‘Demi Allah telah tua umurku, dan berlalu masaku dan telah
lupa sebagian yang dimana aku telah mendengarnya dari rasulullah saw(beliau
bersabda) apa-apa yang aku katakan kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang
tidak (aku perintahkan) maka janganlah kamu menyalahiku dengannya.’ Kemudian
dia berkata, ‘Suatu hari Rasulullah saw berdiri dan berkhutbah kemudian diseru
(olehnya) kita di antara Makkah dan Madinah (Ghadir Khum) kemudian berhamdalah
kepada Allah serta memuji-Nya kemudian menasihati serta bersabda, ‘Amma ba’du
wahai manusia sesungguhnya saya adalah manusia hampir tiba saatnya datang
utusan Tuanku, dan aku akan menjawabnya (maksudnya akan dipanggil Tuhannya) dan
aku telah meninggalkan kepadamu tsaqalain (dua pusaka yang berat); yang pertama
adalah Kitabullah (Al-Quran) di dalamnya petunjuk dan cahaya; maka peganglah
dengan kitabullah dan berkomitmen padanya’; (yang kedua) adalah Ahlulbaitku,
aku ingatkan pada kalian dengan nama Allah mengenai ahlulbaitku. Aku ingatkan
di depan Allah kepada kalian mengenai Ahlulbaitku, aku ingatkan di depan Allah
pada kalian mengenai Ahlulbaitku.”
Hadits tersebut dimuat juga dalam kitab Musnad Ahmad
ibn Hanbal, kitab Sunan At-Tirmidzi dengan sumber dari sahabat Nabi bernama
Jabir ibn Abdullah dan dari Ali ibn Mundzir alkufi dari Zaid ibn Arqam, kitab
Al- Mu’jam Al-Kabir (At-Thabrani) dengan sanad dari Ibnu Al-Fadhl As-Saqthi
dari Sa’id Al-Ghifari, Muhammad ibn Abdillah Al-Hadhrami dari Hudzaifah ibn
Asad Al-Ghifari, kitab Ad-Dur Almantsur karya Jalaludin As-Suyuthi dengan sanad
dari Sa’id Al-Khudri dan dari Ahmad bin Hanbal dari Zaid ibn Tsabit.
Dari segi riwayat
hadits ‘Kitabullah wa Itrah Ahlulbait’ termasuk mutawatir (banyak diriwayatkan) dan orang-orang yang
menyampaikannya (rawi) termasuk terpercaya berdasarkan syarat Al-Bukhari dan
Muslim. Bahkan dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin Albany dalam kitab
Silsilah Al-Hadits Al-Shahihah. Ayatullah Borujerdi menyebutkan lebih
dari dua ratus kitab Sunni yang meriwayatkan hadis tersebut.[3]
Ayatullah Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa kedua hadis tersebut memiliki kemungkinan disampaikan Rasulullah saw dalam kesempatan yang berbeda. Muthahhari menulis:
“… kita tidak dapat menafikan kemungkinan Nabi saw bersabda di kesempatan tertentu bahwa Nabi saw akan meninggalkan dua perkara: Kitab Allah dan sunahnya. Tidak ada perbedaan antara keturunan Nabi saw dan sunahnya, karena yang dapat menjelaskan sunahnya adalah keturunannya. Sedangkan eksistensi keturunannya dan sunahnya satu sama lain tidak terpisah. Keturunan beliaulah yang menjelaskan secara terperinci dan menjaga sunahnya. Bila Nabi saw menyebut keturunannya bersama kitab Allah, beliau bermaksud mengatakan bahwa kalau mau mengetahui sunahnya, rujuklah keturunannya. Bahkan pernyataan bahwa Nabi saw bersabda, ‘Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat yang berat: kitab Allah dan keturunanku’, itu sendiri sunnah. Karena itu, tidak ada perbedaan antara sunnah Nabi saw dan keturunan beliau. Kalau di satu tempat dan bahkan ini belum pasti, Nabi saw mengatakan, ‘Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat yang berat: kitab Allah dan sunnahku’, maka dibanyak tempat lainnya, beliau menggunakan ungkapan lain. Jika dalam satu kitab hadis ini ditulis dalam satu bentuk, pada dua ratus kitab lainnya ditulis dalam bentuk lain.”[4]
Yang jelas dari rujukan hadis tersebut umat Islam setelah wafat Rasulullah saw terbelah menjadi dua umat besar: Syiah dan Sunni. Jika ditanya apa bedanya antara Sunni dan Syiah? Memang akan bingung untuk jelaskan secara singkat karena dalam buku-buku begitu banyak yang dibahas dan perlu diuraikan terkait ikhtilaf mulai dari sejarah, akidah, hadis, tafsir, dan fiqih. Sulit untuk melihat perbedaan esensial dari mazhab Syiah dan Sunni, yang sama-sama bersumber dari agama Islam. Kedua mazhab itu bukan hakikat agama, tetapi bentuk pemahaman agama yang berkembang dalam sejarah Islam setelah wafat Rasulullah saw.
Hingga kini masih terus dua mazhab tersebut dipersoalkan. Level orangtua murid di sekolah dasar dan menengah saja sampai ramai bincang soal mazhab. Juga di situs media sosial ramai bicara Sunni dan Syiah. Sampai ada yang berani bilang “Syiah bukan Islam”. Pasti yang bilang begitu tidak belajar sejarah atau sekadar terima omongan orang lain (informasi) tanpa melakukan tabayun. Setiap omongan atau informasi harusnya dikritisi dahulu sebelum diyakini benar.
Segera tabayun. Jika tentang mazhab Syiah maka
selayaknya bertanya kepada Muslimin pengikut Syiah, ustadz yang mewakili Syiah,
atau langsung datang kepada pengurus organisasi IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait
Indonesia) dan ABI (Ahlulbait Indonesia) sebagai representasi Muslimin Syiah di
Indonesia. Apalagi keduanya merupakan ormas resmi maka akan sangat terbuka
dalam menerima orang-orang yang ingin konfirmasi tentang mazhab Syiah. Karena
itu, tabayun harus didahulukan dan jangan cukup dengar dari orang lantas
dipercaya. Mari lakukan tabayun! *** (ahmad sahidin)
[1] Dalam Al-Quran disebutkan, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan
bertakwalah kepada Allah” (Al-Hasyr ayat 7).
[2] Dikutip dari hadits web, kumpulan & referensi belajar hadits, dalam http://opi.11omb.com/ bagian: As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Quran.
[3] Murtadha Muthahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar
Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam (Jakarta: Citra, 2012) halaman 613.
[4] Murtadha Muthahhari, Tafsir Holistik: Kajian Seputar
Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam
(Jakarta: Citra, 2012) halaman 614.