Selasa, 31 Agustus 2021

Resensi buku Stop Anarkisme: Kode Etik Amar Makruf & Nahi Mungkar

Selasa siang 17 Agustus 2021, saya selesai membaca buku Stop Anarkisme Kode Etik Amar Makruf & Nahi Mungkar. Buku ini ditulis oleh Murtadha Muthahhari. Aslinya buku ini berjudul 'Amar Ma'ruf Nahyi Munkar. Terbit tahun 2006 oleh Al-Huda Jakarta.

Sambil menghantarkan doa untuk pejuang kemerdekaan, syuhada yang melawan kezaliman, dan tokoh pendiri bangsa Indonesia, saya melafalkan Alfatihah dan shalawat. Tidak lupa saya hantarkan Alfatihah dan shalawat untuk cucu Rasulullah Saw yang pada 10 Muharram 61 Hijriah dibantai oleh pasukan Ubaidillah bin Ziyad di bawah komando Umar bin Saad dan Syimir Jausyan. Kejadiannya di Karbala, Irak. Sebuah tragedi yang terus dikenang sepanjang zaman. 

Bagaimana tidak memilukan, keluarga Rasulullah Saw yang harusnya dihormati dan dimuliakan malah dizalimi hingga wafat sebagai syuhada. Tidak terbayang sekira tujuh puluhan orang melawan tiga ribuan pasukan. Jumlah yang tidak sebanding. Karena itu, peristiwa 10 Muharram 61 Hijriah di Karbala bukan perang tetapi suatu pembantaian.

Dari tragedi Karbala itu, saya memahami ada dua kaum pada umat Islam setelah Rasulullah Saw. Dua kaum ini memeluk dan meyakini Islam agamanya. Tetapi akhlak dan jiwa kemanusiaan di antara keduanya tidak sama. Kaum yang bersama cucu Rasulullah yang gugur di Karbala mewakili pembela, orang-orang setia, dan berlandaskan kecintaan kepada Rasulullah dan keluarganya. 

Sesuai dengan pesan Nabi Muhammad Saw yakni umat harus berpegang teguh pada Al-Quran dan Itrah Ahlulbait (keluarga Rasulullah saw). Pesan ini disebut hadis tsaqalain yang harus dijaga. Setiap orang Islam akan diminta pertanggungan jawab atas tsaqalain tersebut di akhirat. Tidak habis pikir, Ahlulbait yang dititipkan oleh Nabi kepada umat malah dibantai, bahkan dianggap  murtad.

Sementara kaum yang membantai dan menzalimi keluarga Nabi Muhammad Saw di Karbala merepresentasikan orang-orang yang tidak amanah dan mengabaikan pesan Rasulullah Saw. Mengapa bisa? Sebab orientasi hidup umat sudah beralih pada kekuasaan, kekayaan, jabatan dan keduniaan, sehingga hilang nilai-nilai agama Islam di tengah umat.

Al-Husain, cucu Rasulullah Saw, berada di tengah zaman yang tidak lagi mengindahkan kesucian dan keilahian. Al-Husain tidak mau larut dalam situasi buruk tersebut. Penguasa di zamannya yakni Bani Umayyah meminta legitimasi Al-Husain dalam bentuk baiat. 

Tentu saja orang suci dan saleh seperti Al-Husain tidak mau memberikannya. Kemudian masyarakat Kufah, yang awalnya punya kehendak untuk melawan coba undang dengan ribuan surat kepada Al-Husain agar datang ke Kufah untuk bersama-sama melawan. Sayangnya kaum yang mengundang Al-Husain bukan orang-orang kesatria dan bukan pecinta yang siap membela dengan penuh kesetiaan. Digertak penguasa dengan pembunuhan pada orang-orang yang pro Al-Husain, langsung tidak bernyali. Ciut dihadapan algojo Bani Umayyah.

Al-Husain bersama rombongan di Karbala menagih janji orang-orang Kufah. Namun, tidak ada orang yang menyambutnya. Malah pasukan Bani Umayyah menyambutnya dengan pedang, panah, tombak, dan tidak segan memutuskan kepala orang-orang yang bersama Al-Husain. Cucu Rasulullah Saw gugur dengan tubuh penuh luka, tanpa kepala, dan bermandikan darah. Tinggal kaum wanita dan seorang putra Al-Husain yang sakit parah yang tersisa. Mereka ini digiring, dirantai, dan diperlakukan seperti tawanan perang hingga tiba di istana Bani Umayyah. Yazid bin Muawiyah, sang penguasa merasa gembira dengan gugurnya Al-Husain dan rombongan yang membelanya. 

Mengapa penguasa bertindak kejam kepada keluarga Rasulullah Saw? Karena Al-Husain tidak mau membaiat sehingga ditumpahkan darahnya.

Mengapa Al-Husain tetap teguh menolak baiat? Dalam buku Stop Anarkisme (halaman 11-12), Muthahhari menulis:

 "...Yazid adalah manusia kepala batu yang ingin merendahkan Islam dan komunitas muslimin. Dihadapan umat Islam, Yazid terang-terangan menenggak minuman keras, mendatangi rapat umum dalam keadaan mabuk, perilaku seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Muawiyah secara terang-terangan.

"Dalam catatan sejarahwan, Yazid adalah orang yang gemar bermain-main dengan kera, bahkan memiliki kedekatan khusus dengan binatang tersebut. Ibunya adalah perempuan dari lingkungan badui yang juga akrab dengan kera dan anjing.

"Mas'ud dalam kitab Muruj Dzahab merekam kegiatan Yazid yang mengenakan pakaian sutera kepada monyetnya dan memasang mahkota di atas kepala monyetnya, lalu mendudukan monyet itu di bahunya. Hal ini dilakukan secara sengaja  agar posisi monyetnya lebih tinggi dari semua prajurit dan pejabat yang berada di dalam pemerintahannya. Orang inilah yang memaksa Imam Husain as untuk berbaiat kepadanya."

Kembali pada buku Stop Anarkisme, Muthahhari menyebut tiga faktor Al-Husain berjuang menentang penguasa Bani Umayyah. Pertama adalah baiat. Kedua adalah undangan masyarakat Kufah. Ketiga adalah amar makruf nahi mungkar. Al-Husain menolak berbaiat kepada Yazid. Masyarakat Kufah mengundang Al-Husain untuk bersama melawan kekuasaan Bani Umayyah sehingga berangkat ke Kufah dan tertahan di Karbala. Perjalanan dari Madinah ke Makkah kemudian menuju Kufah merupakan bentuk amar makruf nahi mungkar yang diperankan Al-Husain yang berakhir dengan kesyahidan. 

Setelah peristiwa Karbala, umat Islam ada yang sadar dengan situasi yang amoral dan zalimnya sang penguasa. Di antara umat Islam ada yang bergerak melawan penguasa, bahkan menyerang dan memerangi orang-orang yang membantai Al-Husain.

Tragis dan duka. 10 Muharram 61 Hijriah menjadi tanda perjuangan, amar makruf  nahi mungkar. Simbol penentangan pada kezaliman, penjajahan, dan upaya membebaskan umat dari belenggu sang penguasa. 

Banyak nilai etik dari kesyahidan Al-Husain untuk menginspirasi kehidupan. Muthahhari dengan indah dan bernas menyajikannya dalam buku Stop Anarkisme. Bukunya tidak tebal, 146 halaman. Layak baca buku ini. Labbayka ya Husain! Indonesia tangguh, Indonesia tumbuh. *** (Ahmad Sahidin)