Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala afwa ala naril
jahimi//Fahabli taubatan wagfir dzunubi, fainnaka ghofirun danbil adhimi//Duh
Gusti abdi téh sanés ahli surga, nanging moal kiat nandangan naraka//Mugi Gusti
nampi kana tobat abdi, ngahapunten kana kalepatan diri//Dosa abdi sapertos
keusik sagara, mugi Gusti ngahapunten sadayana, dan seterusnya. Kalau dibaca
terjemahannya, apalagi yang berbahasa Sunda, terasa menyentuh.
Maklum diri saya banyak dosa
dan sangat tidak mampu menanggungnya. Jadi, pasrah dan memohon kepada Allah
agar dihapuskan. Aamiin Ya Robbal 'alamiin.Saya sempat termenung saat pakai motor di jalan. Teringat orang-orang yang sudah wafat, termasuk orangtua saya. Mungkin sudah triliunan manusia yang dikubur di bumi. Jejaknya menyatu dengan bumi. Dan pastinya ada menyatu dengan unsur air dan makanan yang dikonsumsi.
Mulai dari orang kaya, raja,
cendekiawan, tentara, orang biasa atau orang miskin pun mengalami kematian. Ada
batas hidupnya. Yang menarik dalam kehidupan dunia ini seperti yang saling
berganti tempat atau ruang saja. Saya adalah keturunan dari ayah. Dan ayah saya
berasal dari ayahnya dan ayahnya berasal dari ayahnya yang saling tersambung
pada leluhur manusia. Dan leluhur (nenek moyang) manusia paling awal yang
dikenal adalah Nabi Adam as dan Hawa sa.
Dari sini saya
bertanya-tanya, apakah kita yang hidup ini hanya menggantikan keberadaan
manusia terdahulu yang sudah wafat? Tentu dengan segala perubahan zaman dan
perkembangan kebudayaan manusia.
Mengapa terjadi siklus
kelahiran, kehidupan, dan kematian kemudian ada kelahiran, kehidupan, dan kematian
lagi? Seperti perulangan yang abadi. Yang berubah hanya ruang dan waktu, serta
bentuk capaian hidup maupun kebudayaan saja.
Meski memang tidak diingkari
dalam agama Islam bahwa saat wafat maka ruh yang menjadikan manusia gerak itu
berpindah "alam" dari dunia ke barzah menunggu masa akhir dan
kebangkitan untuk masuk alam akhirat. Pastinya panjang dan hanya Tuhan
yang Mengetahuinya.
Karena manusia itu dibatasi
hidupnya dengan kematian, maka teramat singkat dan penting untuk mengisinya
dengan sesuatu yang menjadikan kita punya bekal untuk berada di alam sesudah
dunia ini. Saya percaya ada alam setelah mati. Saya yakin itu sebuah kebenaran.
Hanya saja gemerlap dunia dan merasa tidak akan dapat hidup tanpa materi
membuat diri senantiasa lupa tentang hakikat kehidupan dunia sekadar transit.
Tentang hidup di dunia ini
pilihannya ada dua: (1) menyiapkan diri dengan amal ritual dan amal sosial
kemanusiaan, atau (2) tidak mempedulikan urusan tersebut. Yang kedua ini dalam
hidup tinggal dijalani seenaknya dengan catatan ikuti aturan tempat tinggal dan
menetap, perbanyak kekayaan, berusaha untuk tidak sakit, bahkan kalau bisa
melawan kematian. Mungkin berusaha agar tidak mengalami tua. Bisakah?
Saya kira tidak mungkin. Dan sudah ketentuan Tuhan bahwa selain-Nya akan
mengalami musnah alias tidak kekal.
Sampai pada renungan ini
kadang saya tidak bisa berpikir lagi. Menyerah karena biar bagaimana pun secara
alamiah tidak bisa melawan kematian, tidak bisa melawan tua, dan tubuh tidak
akan abadi. Meski Firaun diawetkan tetap ia tidak hidup, bahkan dijadikan ibrah
untuk manusia setelahnya sampai nanti tiba Kiamat. Yakin dan kukuhlah saya
bahwa yang abadi hanyalah Tuhan Semesta Alam. *** (ahmad sahidin)