Sabtu, 06 April 2019

Di Bulan Rajab ini, Semakin Tua saja Usia Saya

Semakin tua saja usia saya. Ya pada bulan Rajab ini. Saat termenung dengan usia yang makin tua, tiba-tiba ingat dengan syair Abu Nawas yang biasa didendangkan menjelang maghrib di masjid kampung. Bunyinya:
Ilahi lastu lil firdausi ahla, wala afwa ala naril jahimi//Fahabli taubatan wagfir dzunubi, fainnaka ghofirun danbil adhimi//Duh Gusti abdi téh sanés ahli surga, nanging moal kiat nandangan naraka//Mugi Gusti nampi kana tobat abdi, ngahapunten kana kalepatan diri//Dosa abdi sapertos keusik sagara, mugi Gusti ngahapunten sadayana, dan seterusnya. Kalau dibaca terjemahannya, apalagi yang berbahasa Sunda, terasa menyentuh.
Maklum diri saya banyak dosa dan sangat tidak mampu menanggungnya. Jadi, pasrah dan memohon kepada Allah agar dihapuskan. Aamiin Ya Robbal 'alamiin.

Saya sempat termenung saat pakai motor di jalan. Teringat orang-orang yang sudah wafat, termasuk orangtua saya. Mungkin sudah triliunan manusia yang dikubur di bumi. Jejaknya menyatu dengan bumi. Dan pastinya ada menyatu dengan unsur air dan makanan yang dikonsumsi.

Mulai dari orang kaya, raja, cendekiawan, tentara, orang biasa atau orang miskin pun mengalami kematian. Ada batas hidupnya. Yang menarik dalam kehidupan dunia ini seperti yang saling berganti tempat atau ruang saja. Saya adalah keturunan dari ayah. Dan ayah saya berasal dari ayahnya dan ayahnya berasal dari ayahnya yang saling tersambung pada leluhur manusia. Dan leluhur (nenek moyang) manusia paling awal yang dikenal adalah Nabi Adam as dan Hawa sa.
Dari sini saya bertanya-tanya, apakah kita yang hidup ini hanya menggantikan keberadaan manusia terdahulu yang sudah wafat? Tentu dengan segala perubahan zaman dan perkembangan kebudayaan manusia.
Mengapa terjadi siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian kemudian ada kelahiran, kehidupan, dan kematian lagi? Seperti perulangan yang abadi. Yang berubah hanya ruang dan waktu, serta bentuk capaian hidup maupun kebudayaan saja.
Meski memang tidak diingkari dalam agama Islam bahwa saat wafat maka ruh yang menjadikan manusia gerak itu berpindah "alam" dari dunia ke barzah menunggu masa akhir dan kebangkitan untuk masuk alam akhirat. Pastinya panjang  dan hanya Tuhan yang Mengetahuinya.
Karena manusia itu dibatasi hidupnya dengan kematian, maka teramat singkat dan penting untuk mengisinya dengan sesuatu yang menjadikan kita punya bekal untuk berada di alam sesudah dunia ini. Saya percaya ada alam setelah mati. Saya yakin itu sebuah kebenaran. Hanya saja gemerlap dunia dan merasa tidak akan dapat hidup tanpa materi membuat diri senantiasa lupa tentang hakikat kehidupan dunia sekadar transit.
Tentang hidup di dunia ini pilihannya ada dua: (1) menyiapkan diri dengan amal ritual dan amal sosial kemanusiaan, atau (2) tidak mempedulikan urusan tersebut. Yang kedua ini dalam hidup tinggal dijalani seenaknya dengan catatan ikuti aturan tempat tinggal dan menetap, perbanyak kekayaan, berusaha untuk tidak sakit, bahkan kalau bisa melawan kematian. Mungkin berusaha agar tidak mengalami tua. Bisakah?  Saya kira tidak mungkin. Dan sudah ketentuan Tuhan bahwa selain-Nya akan mengalami musnah alias tidak kekal.
Sampai pada renungan ini kadang saya tidak bisa berpikir lagi. Menyerah karena biar bagaimana pun secara alamiah tidak bisa melawan kematian, tidak bisa melawan tua, dan tubuh tidak akan abadi. Meski Firaun diawetkan tetap ia tidak hidup, bahkan dijadikan ibrah untuk manusia setelahnya sampai nanti tiba Kiamat. Yakin dan kukuhlah saya bahwa yang abadi hanyalah Tuhan Semesta Alam. *** (ahmad sahidin)