Rabu, 28 April 2021

Sunan Gunung Jati, Pandita Ratu

SEJARAH Sunan Gunung Jati menarik untuk dikaji. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari sosok yang bernama Syarif Hidayatullah ini. Selain sebagai raja di Cirebon, ia juga menjadi wali dari Wali Sanga dengan gelar Sunan Gunung Jati. Berarti Syarif Hidayatullah menduduki jabatan rangkap dengan sebutan “Raja-Pendeta” (Pandita Ratu). Apa makna dan tujuan rangkap jabatan tersebut menurut konsep Islam? Melalui tulisan ini akan coba menguraikannya.

Pandita Ratu
Konsep “Raja Pendeta” (Pandita Ratu) dalam sejarah Sunda bisa dirunut dari masa Kerajaan Sunda. Raja yang berkuasa adalah seorang tokoh agama Hindu atau Budha. Raja biasanya menyelenggarakan dan memimpin kegiatan agama bagi seluruh rakyatnya. Meski terdapat Bikhu atau Bante, tetapi penyelenggaraan keagamaan melibatkan raja dan pejabat kerajaan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pemerintahan dan agama; sekaligus agama menjadi legitimasi sakral untuk sebuah kekuasaan tertentu.

Melihat sejarahnya yang demikian maka tidak aneh jika kemudian muncul konsep “Raja-Pendeta”. Seorang raja dianggap sebagai titisan dewa sehingga pembangkangan terhadap titah raja bisa dianggap bentuk tidak taat kepada dewa. Dari hal ini sabda raja sama dengan hukum.  Juga terlihat dari stratifikasi sosial yang menunjukkan tingkatan yang berbeda antara rakyat dan keluarga raja. Bentuknya terlihat dari penghormatan yang harus menunduk atau duduk di bawah, sedangkan raja duduk di atas kursi.

Berkaitan dengan Sunan Gunung Jati yang menjadi wali, bahkan menjadi pemimpin Wali Sanga setelah wafat Sunan Ampel, menjadikan posisinya sebagai panutan dalam agama Islam di Jawa. Apalagi Sunan Gunung Jati ini keturunan dari Sri Baduga Maharaja Ratu Pajajaran[1] maka posisinya menjadi kuat. Dalam memegang kekuasaan di Cirebon, Sunan Gunung Jati dengan dua “otoritas” tersebut dipandang sosok yang luarbiasa di hadapan rakyatnya.

Secara makna, Pandita Ratu bisa diartikan ulama yang menjadi raja.[2] Sunan Gunung Jati dalam konteks ini tampil sebagai kepala negara sekaligus pemimpin agama Islam sehingga kebijakan mengenai pemerintahan dilandasai oleh kaidah Islam. Sunan Gunung Djati dalam kebijakannya memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah seperti membangun masjid agung dan masjid-masjid jami di wilayah bawahan Cirebon. Tidak hanya itu, juga membangun keraton (kerajaan), sarana transportasi melalui jalur laut, sungai, jalan darat, dan membentuk pasukan keamanan (jagabaya). Sebagai kepala negara, Sunan Gunung Jati pula menetapkan pajak yang jumlah, jenis, dan besarnya disesuaikan dengan kemampuan rakyat, yang sebelumnya kerajaan Pajajaran mengambilnya  dari rakyat. Setelah lepas dan menjadi kerajaan yang mandiri, Sunan Gunung Jati memiliki otoritas penuh dalam mengatur kerajaan, rakyat, tradisi, dan kehidupan beragama.[3]

Posisi Sunan Gunung Jati ini berbeda dengan para wali lainnya. Jika Sunan Gunung Djati menyatukan agama dan politik kemudian menempatkan dua institusi itu dalam satu sosok yang disebut Pandita Ratu, sedangkan Sunan Giri hanya mengembangkan pendidikan agama berupa mendirikan pesantren Giri. Para wali, selain Sunan Gunung Jati, tidak berkiprah dalam politik, tetapi menyerahkan urusan politik kepada raja. Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga tidak menjadi raja atau memegang kekuasaan, tetapi hanya berperan membantu Kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram.[4] Mengapa Sunan Gunung Jati bisa menjadi Pandita Ratu? Besar kemungkinan karena geneologi sebagai keturunan raja dan sebagai pemimpin para wali kemudian kemampuan dalam mengatur rakyat yang sudah dipersiapkan oleh Cakrabhuana yang merupakan kakak dari ibunya.

Kedudukan Sunan Gunung Jati sebagai Pandita Ratu ini dalam ajaran agama Islam sebetulnya bisa diartikan perwujudan dari surah Al-Baqarah ayat 30 bahwa Allah menciptakan khalifah di muka bumi. Ini terkait penciptaan Adam yang ditetapkan Nabi dan wakil Allah di muka bumi, yang mengelola dan mengisi kehidupan dunia sesuai dengan petunjuk-Nya. Dari Adam dan Hawa kemudian lahir manusia-manusia hingga sekarang yang heterogen dan memiliki karakter serta kebudayaan yang satu sama lain berbeda dan berbangsa-bangsa. Namun, perbedaan itu semuanya sirna dihadapan Allah karena yang paling utama adalah yang bertakwa.[5] Ketakwaan menjadi indikator kedudukan manusia yang mulia sehingga orang yang mencapai taraf ini layak menjadi khalifah, yang memegang dan mengendalikan kehidupan masyarakat.

Sejarah mengisahkan bahwa terdapat para Nabi, yang selain sebagai Utusan Allah juga menjadi penguasa atau raja. Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Nabi Yusuf as adalah manusia pilihan Allah yang ditetapkan memiliki dua jabatan: agama dan politik. Ini yang mungkin bisa disebut Pandita Ratu dalam ajaran agama Islam; menempatkan yang ahli dalam agama sebagai penguasa. Apabila menengok sejarah Nabi Muhammad saw di Madinah ternyata berposisi sebagai kepala negara dan kepala agama Islam. Jabatan ini merangkap dalam satu sosok, yang kualitas orangnya tidak diragukan karena dipilih oleh Allah.

Pascawafat Rasulullah saw terdapat khulafa rasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib ra. Keempat orang ini menempati posisi sebagai kepala negara dan pemimpin agama Islam. Dalam teknisnya, Abu Bakar, Umar, dan Utsman menggunakan orang-orang pilihan atau semacam staf ahli dalam urusan keagamaan. Sebelum menjadi khalifah, Ali diposisikan sebagai penasihat Abu Bakar dan Umar. Sedangkan Utsman menggunakan orang pilihan dari keluarganya, yaitu Marwan bin Hakam yang dibantu Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedangkan ketika Ali berkedudukan sebagai khalifah, juga berperan sebagai marja’ (yang dirujuk) bagi umat Islam. Jika ada persoalan agama yang tidak mampu diselesaikan maka orang bertanya kepada Ali, yang oleh Rasulullah saw sendiri disebut pintu ilmu.[6] Kemudian terlihat pula pada Daulah Islamiyah seperti Fatimiyah di Mesir, Safawiyah di Persia, Mughal di India, dan lainnya.

Dalam konteks modern, Pandita Ratu ini mirip dengan bentuk pemerintahan Republik Islam Iran yang berasaskan wilayah faqih; yang menempatkan ulama sebagai pucuk pimpinan negara (rahbar) yang membawahi presiden dan menteri. Rahbar ini yang menjadi penentu semua kebijakan, baik yang terkait agama maupun politik dan kemasyarakatan. [7]

Dari penjelasan singkat di atas bisa disimpulkan bahwa Pandita Ratu memiliki dasarnya dalam ajaran agama Islam, yang pada kasus Sunan Gunung Djati disesuaikan dengan bahasa dan budaya lokal. []

AHMAD SAHIDIN
Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung 

Tulisan ini ditulis tahun 2014 dan pernah disampaikan dalam diskusi mata kuliah Sejarah Islam di Tatar Sunda yang diampu oleh Prof A.Sobana. 


[1] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009) halaman 160-161.
[2] Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009) halaman 165.
[3] Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati: Antara Fiksi dan Fakta (Bandung: Humaniora Utama Press, 2002) halaman 298.
[4] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu) halaman 106-107.
[5] Surah Al-Hujurat ayat 13.
[6] Ana madinatul ilmi, wa ‘Aliyyun babuha. Faman arada madina, fal ya’tiha min babiha. Hadis ini termasuk mutawatir dalam kitab-kitab hadis dari Ahlusunnah dan Ahlulbait, sehingga tidak diragukan kesahihannya.
[7] Sebelum memilih Rahbar (Wali Faqih), dibentuk Dewan Ahli dari kalangan ulama yang
faqahah, adil, berani dalam kebenaran, berakhlak mulia, dan memiliki kecakapan (kafa`ah). Dewan Ahli dipilih
oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota Parlemen dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang dilakukan dengan sistem distrik. Selain memilih Rahbar, Dewan Ahli juga bertugas
menguji Undang-Undang Dasar yang dibuat oleh Anggota Parlemen. Mengenai sistem politik yang
dibentuknya, Imam Khomeini mengatakan, “Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas
(akhlak), patriotisme, pengetahuan, kompetensi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih
figur mana yang memenuhi kriteria semacam itu.” Lihat Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2002) halaman 136-137.