SEJARAH Sunan
Gunung Jati menarik untuk dikaji. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari
sosok yang bernama Syarif Hidayatullah ini. Selain sebagai raja di Cirebon, ia juga
menjadi wali dari Wali Sanga dengan gelar Sunan Gunung Jati. Berarti
Syarif Hidayatullah menduduki jabatan rangkap dengan sebutan “Raja-Pendeta” (Pandita
Ratu). Apa makna dan tujuan rangkap jabatan tersebut menurut konsep Islam?
Melalui tulisan ini akan coba menguraikannya.
Pandita Ratu
Konsep “Raja
Pendeta” (Pandita Ratu) dalam sejarah Sunda bisa dirunut dari masa
Kerajaan Sunda. Raja yang berkuasa adalah seorang tokoh agama Hindu atau Budha.
Raja biasanya menyelenggarakan dan memimpin kegiatan agama bagi seluruh
rakyatnya. Meski terdapat Bikhu atau Bante, tetapi penyelenggaraan keagamaan
melibatkan raja dan pejabat kerajaan. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang
erat antara pemerintahan dan agama; sekaligus agama menjadi legitimasi sakral
untuk sebuah kekuasaan tertentu.
Melihat
sejarahnya yang demikian maka tidak aneh jika kemudian muncul konsep
“Raja-Pendeta”. Seorang raja dianggap sebagai titisan dewa sehingga
pembangkangan terhadap titah raja bisa dianggap bentuk tidak taat kepada dewa.
Dari hal ini sabda raja sama dengan hukum.
Juga terlihat dari stratifikasi sosial yang menunjukkan tingkatan yang
berbeda antara rakyat dan keluarga raja. Bentuknya terlihat dari penghormatan
yang harus menunduk atau duduk di bawah, sedangkan raja duduk di atas kursi.
Berkaitan
dengan Sunan Gunung Jati yang menjadi wali, bahkan menjadi pemimpin Wali Sanga
setelah wafat Sunan Ampel, menjadikan posisinya sebagai panutan dalam agama
Islam di Jawa. Apalagi Sunan Gunung Jati ini keturunan dari Sri Baduga Maharaja Ratu
Pajajaran[1]
maka posisinya menjadi kuat. Dalam memegang kekuasaan di Cirebon, Sunan Gunung
Jati dengan dua “otoritas” tersebut dipandang sosok yang luarbiasa di hadapan
rakyatnya.
Secara makna, Pandita
Ratu bisa diartikan ulama yang menjadi raja.[2]
Sunan Gunung Jati dalam konteks ini tampil sebagai kepala negara sekaligus
pemimpin agama Islam sehingga kebijakan mengenai pemerintahan dilandasai oleh
kaidah Islam. Sunan Gunung Djati dalam kebijakannya memprioritaskan pada
pengembangan agama Islam melalui dakwah seperti membangun masjid agung dan
masjid-masjid jami di wilayah bawahan Cirebon. Tidak hanya itu, juga
membangun keraton (kerajaan), sarana transportasi melalui jalur laut, sungai,
jalan darat, dan membentuk pasukan keamanan (jagabaya). Sebagai kepala
negara, Sunan Gunung Jati pula menetapkan pajak yang jumlah, jenis, dan
besarnya disesuaikan dengan kemampuan rakyat, yang sebelumnya kerajaan
Pajajaran mengambilnya dari rakyat.
Setelah lepas dan menjadi kerajaan yang mandiri, Sunan Gunung Jati memiliki
otoritas penuh dalam mengatur kerajaan, rakyat, tradisi, dan kehidupan
beragama.[3]
Posisi Sunan
Gunung Jati ini berbeda dengan para wali lainnya. Jika Sunan Gunung Djati
menyatukan agama dan politik kemudian menempatkan dua institusi itu dalam satu
sosok yang disebut Pandita Ratu, sedangkan Sunan Giri hanya
mengembangkan pendidikan agama berupa mendirikan pesantren Giri. Para wali, selain
Sunan Gunung Jati, tidak berkiprah dalam politik, tetapi menyerahkan urusan
politik kepada raja. Sunan Kudus, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga tidak
menjadi raja atau memegang kekuasaan, tetapi hanya berperan membantu Kerajaan
Demak, Pajang, dan Mataram.[4]
Mengapa Sunan Gunung Jati bisa menjadi Pandita Ratu? Besar kemungkinan
karena geneologi sebagai keturunan raja dan sebagai pemimpin para wali kemudian
kemampuan dalam mengatur rakyat yang sudah dipersiapkan oleh Cakrabhuana yang
merupakan kakak dari ibunya.
Kedudukan Sunan
Gunung Jati sebagai Pandita Ratu ini dalam ajaran agama Islam
sebetulnya bisa diartikan perwujudan dari surah Al-Baqarah ayat 30 bahwa Allah
menciptakan khalifah di muka bumi. Ini terkait penciptaan Adam yang
ditetapkan Nabi dan wakil Allah di muka bumi, yang mengelola dan mengisi
kehidupan dunia sesuai dengan petunjuk-Nya. Dari Adam dan Hawa kemudian lahir
manusia-manusia hingga sekarang yang heterogen dan memiliki karakter serta
kebudayaan yang satu sama lain berbeda dan berbangsa-bangsa. Namun, perbedaan
itu semuanya sirna dihadapan Allah karena yang paling utama adalah yang
bertakwa.[5]
Ketakwaan menjadi indikator kedudukan manusia yang mulia sehingga orang yang
mencapai taraf ini layak menjadi khalifah, yang memegang dan
mengendalikan kehidupan masyarakat.
Sejarah
mengisahkan bahwa terdapat para Nabi, yang selain sebagai Utusan Allah juga
menjadi penguasa atau raja. Nabi Daud as, Nabi Sulaiman as, dan Nabi Yusuf as
adalah manusia pilihan Allah yang ditetapkan memiliki dua jabatan: agama dan
politik. Ini yang mungkin bisa disebut Pandita Ratu dalam ajaran agama
Islam; menempatkan yang ahli dalam agama sebagai penguasa. Apabila menengok
sejarah Nabi Muhammad saw di Madinah ternyata berposisi sebagai kepala negara
dan kepala agama Islam. Jabatan ini merangkap dalam satu sosok, yang kualitas
orangnya tidak diragukan karena dipilih oleh Allah.
Pascawafat
Rasulullah saw terdapat khulafa rasyidin: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman
bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib ra. Keempat orang ini menempati posisi sebagai
kepala negara dan pemimpin agama Islam. Dalam teknisnya, Abu Bakar, Umar, dan
Utsman menggunakan orang-orang pilihan atau semacam staf ahli dalam urusan
keagamaan. Sebelum menjadi khalifah, Ali diposisikan sebagai penasihat Abu
Bakar dan Umar. Sedangkan Utsman menggunakan orang pilihan dari keluarganya, yaitu
Marwan bin Hakam yang dibantu Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedangkan ketika Ali
berkedudukan sebagai khalifah, juga berperan sebagai marja’ (yang
dirujuk) bagi umat Islam. Jika ada persoalan agama yang tidak mampu
diselesaikan maka orang bertanya kepada Ali, yang oleh Rasulullah saw sendiri
disebut pintu ilmu.[6]
Kemudian terlihat pula pada Daulah Islamiyah seperti Fatimiyah di Mesir,
Safawiyah di Persia, Mughal di India, dan lainnya.
Dalam konteks
modern, Pandita Ratu ini mirip dengan bentuk pemerintahan Republik Islam
Iran yang berasaskan wilayah faqih; yang menempatkan ulama sebagai pucuk
pimpinan negara (rahbar) yang membawahi presiden dan menteri. Rahbar
ini yang menjadi penentu semua kebijakan, baik yang terkait agama maupun
politik dan kemasyarakatan. [7]
Dari
penjelasan singkat di atas bisa disimpulkan bahwa Pandita Ratu memiliki
dasarnya dalam ajaran agama Islam, yang pada kasus Sunan Gunung Djati
disesuaikan dengan bahasa dan budaya lokal. []
AHMAD SAHIDIN
Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan
Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung
Tulisan ini ditulis tahun 2014 dan pernah disampaikan dalam diskusi mata kuliah Sejarah Islam di Tatar Sunda yang diampu oleh Prof A.Sobana.
[1]
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009)
halaman 160-161.
[2]
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: KPG, 2009)
halaman 165.
[3]
Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati: Antara Fiksi dan Fakta (Bandung:
Humaniora Utama Press, 2002) halaman 298.
[4]
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu) halaman 106-107.
[5]
Surah Al-Hujurat ayat 13.
[6]
Ana madinatul ilmi, wa ‘Aliyyun babuha. Faman arada madina, fal ya’tiha min
babiha. Hadis ini termasuk mutawatir dalam kitab-kitab hadis dari
Ahlusunnah dan Ahlulbait, sehingga tidak diragukan kesahihannya.
[7]
Sebelum memilih
Rahbar (Wali Faqih), dibentuk Dewan Ahli dari kalangan ulama yang
faqahah, adil, berani dalam
kebenaran, berakhlak mulia, dan memiliki kecakapan (kafa`ah). Dewan Ahli dipilih
oleh Anggota Parlemen. Sedangkan Anggota
Parlemen dan Presiden dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang dilakukan dengan sistem
distrik. Selain memilih Rahbar, Dewan Ahli juga bertugas
menguji Undang-Undang Dasar yang dibuat
oleh Anggota Parlemen. Mengenai sistem politik yang
dibentuknya, Imam Khomeini mengatakan,
“Wali Faqih adalah seorang individu yang memiliki moralitas
(akhlak), patriotisme, pengetahuan,
kompetensi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih
figur mana yang memenuhi kriteria semacam
itu.” Lihat Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam (Bandung: Mizan, 2002)
halaman 136-137.