Jumat, 28 Agustus 2020

Asyura dalam Naskah dan Budaya Nusantara

Saya bersyukur karena pada bulan Muharram ini agak leluasa untuk ikut menyimak pengajian online tentang hari-hari duka cita keluarga Rasulullah Saw. 

Tahun lalu biasanya ikut dengar pengajian muharram di masjid. Kini pengajian online pun banyak pilihan. Mulai dari luar negeri dengan bahasa Inggris atau Arab.  

Begitu pun dari dalam negeri, pada Facebook dan YouTube muncul live streaming pengajian muharram. Mulai dari siang hari sampai jelang tengah malam. Kalau tidak sempat maka bisa subuh menyimaknya karena rekamannya masih terhidang pada media tersebut. 

Meski nuansa kajian muharram bernuansa Islam mazhab Syiah, tetapi buat saya itu menjadi tambahan pengetahuan dan upaya konfirmasi atas setiap informasi yang sampai pada saya tentang Syiah. Ternyata tidak seperti yang kaum anti Syiah gemborkan. Saya temukan kaum Muslim sangat kuat kecintaannya kepada Keluarga Nabi Muhammad Saw. Apa alasan mereka cinta kepada Keluarga Nabi? Yang saya ketahui dari kajian online mereka bahwa ketaatan pada wasiat Rasulullah Saw untuk pegang teguh pada Kitabullah (Alquran) dan Itrah Ahlulbait (Keluarga Nabi). Riwayat dan hadis tentang ini mashur dan banyak sehingga amat mudah kalau dicari pada google. 

Pengajian muharram yang saya ikuti secara online benar-benar menyajikan peristiwa sejarah kehidupan Al-Husain, cucu Rasulullah Saw, sejak kecil sampai syahid di Karbala. Perjalanan Al-Husain dari Makkah menuju Karbala diungkap dengan kutipan dari kitab sejarah. Kalau baca satu saja buku berjudul "Duka Padang Karbala" ditulis Sayyid Ibnu Thawus, maka akan didapatkan uraian perjalanan hidup cucu Rasulullah Saw (Al-Husain) sampai tragedi yang menimpanya pada 10 Muharram 61 Hijriah. 

Kesan saya setelah menyimak kajian online dan membaca buku bahwa asyura merupakan peristiwa yang mengerikan dan membuat mata ini sembab hingga menteskan air mata. Sedih. Juga membuat saya heran dengan perilaku penguasa terdahulu. Padahal, mereka itu secara lahiriah beragama Islam.  

Ya, sebuah tragedi kemanusiaan yang menimpa keluarga Rasulullah Saw di tengah umat Islam tahun 61 Hijriah/680 Masehi di Karbala, Iraq.  

Sebuah gambaran adanya orang yang haus kekuasaan, jabatan, kekayaan, dan bangga dengan popularitas sehingga membuat lupa diri dengan akhirat. Sampai tega membunuh cucu Rasulullah Saw yang seharusnya dijaga dan dimuliakan.  

Sejarah mengisahkan tragedi Karbala ini diturunkan secara lisan dari setiap saksi sejarah. Turun temurun. Di antaranya keluarga Al-Husain dan pengikutnya yang dijuluki kaum Muslim Syiah. Dari mereka ini informasi historis Karbala sampai pada para penulis sejarah.  

Sekira 90 tahun setelah kejadian Asyura di Karbala, Abu Mikhnaf (wafat tahun 157 H.) yang aslinya bernama Yahya bin Said bin Mikhnat. Ia menuliskan peristiwa heroik itu dalam kitab Maqtal Al-Husain. Tentu metode saat itu yang digunakan oleh Abu Mikhnaf berupa wawancara secara lisan dan mengandalkan memori kolektif dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa Karbala. Abu Mikhnaf menyebut nama-nama orang yang menyaksikan kejadian tragedi Karbala dalam kitabnya. Di antaranya Muhammad bin Qays, Harits bin Abdillah bin Syarik Al-Amiri, dan sebagainya. Mereka ini yang menjadi sumber lisan dari penyusunan kitab Maqtal Al-Husain karya Abu Mikhnaf. Saya kira Abu Mikhnaf ini punya keberanian untuk menyampaikan sejarah secara tertulis dan diwariskan pada generasi selanjutnya hingga sampai pada zaman kita.  

Selain Abu Mikhnaf, ada ulama Ahlussunnah yang simpati sehingga menyajikan pula tragedi Karbala itu pada kitab yang ditulisnya. Sebut saja penulis kitab Fathul Bari, yaitu Ibnu Hajar Asqalani menuliskan percikan tragedi Al-Husain yang dikutip dari Al-Bukhari (kitab Al-Manaqib, bab manaqib al-Hasan wa al-Husain, nomor 3465), Jalaluddin Suyuthi menuliskan pada Tarikh Al-Khulafa, dan Imam Syafii pun memuat syair tentang Al-Husain. 

Berikut ini "Martsiyah" karya Imam Syafii tentang Al-Husain dan tragedi Karbala:

Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana;

Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing.

Wahai, siapa yang akan menyampaikan pesanku kepada Husain,

 

Yang dibantai, meski tak berdosa,

Bajunya seakan-akan dicelup basah dengan warna merah.

Kini hatta pedang pun meratap, dan tombak menjerit,

Dan kuda yang kemarin meringkik, kini meratap.

Bumi bergempa karena keluarga Muhammad;

 

Demi mereka, gunung-gunung yang kukuh niscaya akan meleleh.

Benda-benda langit rontok, bintang-bintang gemetar,

Wahai cadur-cadur dirobek, demikian juga hati!

Orang yang bershalawat untuk dia yang diutus dari kalangan Bani Hasyim,

Dia juga memerangi anak-anaknya. Duhai alangkah anehnya!

 

Jika aku dianggap berdosa karena cinta kepada keluarga Muhammad:

Maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu.

 

Kalau ditelusuri pada karya ulama, tidak hanya pada kitab tarikh, pasti banyak yang memuat peristiwa 10 Muharram dan tragedi Karbala pada kitab lainnya. Mungkin sekadar komentar, sikap simpati dan ungkap duka cita. Tentang ini kalau diriset akan menjadi karya tersendiri.

Tradisi dan Naskah

Tidak hanya karya ulama klasik, penulisan sejarah 10 Muharram dan tragedi Al-Husain pun tersaji pada naskah (filologi) dan tradisi masyarakat Indonesia.  

Mengapa bisa masuk? Ini hubungannya dengan sejarah masuknya agama Islam ke Nusantara periode awal sampai masa kerajaan Islam terbentuk. Yang jelas dengan hadirnya Islam di Nusantara, masuk pula memori kolektif tentang tragedi Karbala dalam khazanah Nusantara.

Tentang tradisi dan budaya, sebut saja bubur suro di Aceh, malam suro di Yogyakarta, tabot di Bengkulu, Hoyak Tabuik di Padang Pariaman, peringatan asyura di Makassar dan daerah Banten.  

Di Garut dan Cianjur (Jawa Barat) tradisi asyura dilakukan dengan empati pada anak yatim melalui pemberian uang sedekah pada anak yatim sambil mengusap kepalanya. Ada pula yang pada hari kesepuluh Muharram itu berbagi bubur merah dan putih. Warna merah pada bubur dari gula aren ditaburi irisan cabe merah. Untuk bubur putih pakai irisan daging ayam tanpa kulit. Bubur itu diberikan pada tetangga dan jamaah masjid yang gelar pengajian muharram. 

Sementara dalam bentuk naskah Nusantara tersaji dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa dengan aksara pegon. Di antara naskah Nusantara yang isinya terkait dengan Al-Husain dan peristiwa Karbala, yaitu (1) Hikayat Hasan Husen Tatkala Kanak-kanak, (2) Hikayat Hasan Husen Tatkala akan Mati, (3) Hikayat Tabut, (4) Hikayat Muhammad Hanafiyyah, (5) Hikayat Anbiya, dan lainnya. 

Tiga dari naskah tersebut diulas secara ringkas dalam Jurnal Alqurba, vol.1, tahun 2010. Ditulis dalam artikel berjudul "Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu" oleh Mohd Faizal bin Musa. Sedangkan naskah Hikayat Muhammad Hanafiyah pernah disunting oleh L.F. Brakel untuk memperoleh gelar doktor kesusasteraan dari Universitas Leiden, Belanda. Naskah terakhir ini menurut Brakel merupakan terjemah dari karya Abu Mikhnaf. 

Saya coba search Google berupa thesis dan disertasi di Indonesia tentang naskah-naskah tersebut. Karena hanya sesaat dalam searching, sehingga belum saya temukan datanya. Barangkali di antara pembaca ada yang berkenan berbagi informasi. Saya tunggu. Cag! *** (Ahmad Sahidin)